Artikel Halaman 8, L amping Post Sabtu 07-09-2019
Elite Perlu Belajar Mengenal Rakyat!
H. Bambang Eka Wijaya
ELITE utamanya politikus muda yang baru dilantik jadi anggota legislatif ataupun aktifis advokasi perjuangan rakyat, perlu untuk belajar mengenal kehidupan rakyat supaya setiap ucapannya tentang suatu fakta benar substansinya. Suatu fakta punya substansi yang hakiki, tapi kadang elite salah tafsir.
Contohnya, seorang politikus mengeksploitasi fakta penjual gorengan mengiris tempe setipis kartu ATM sebagai pertanda kehidupan rakyat sudah sangat miskin, pereknomian masyatakat sangat sulit. Padahal, penjual gorengan mengiris tempe setipis mingkin supaya kalau digoreng tempenya 'kriuk'. Banyak pelanggan menyukai tempe goreng yang 'kriuk'.
Untuk mengenal rakyat, elite perlu mendalami substansi setiap fakta, yakni memaknai fakta dengan cara pandang dengan berorientasi pada kepentingan rakyat. Cara pandang rakyat itu sederhana, dan kepentingannya amat jelas.
Seperti tempe kalau diiris tipis digoreng 'kriuk', kalau 'kriuk' banyak pelanggan yang suka, dan kalau banyak pelanggan suka dagangannya laris. Jadi bukan mengiriis tipis tempe sebagai unjuk kemelaratan dan kesulitan ekonomi seperti disitir politikus.
Untuk bisa mengenal rakyat dan berpihak atau membela kepentingannya, yang perlu diasah adalah empati: menempatkan diri dalam situasi dan kondisi orang lain (dalam hal ini rakyat). Kalau empati kita pada situasi dan kondisi rakyat, tak perlu menanya "uang Rp50 ribu dapat apa?" dengan intonasi seolah tak bernilai.
Tanyakan itu pada orang yang sedang lapar di jalan, di otaknya langsung terbayang tiga bungkus nasi berlauk gulai ayam di restoran Puti Minang. Banyak keluarga yang belanja dapurnya sehari cukup dengan Rp50 ribu.
Artinya untuk mengenal dekat dengan rakyat jangan kecilkan realitas dan arti hidup mereka. Tapi pahamilah, lalu pelajari dari segi apa bisa membantu mereka untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Jangan ujug-ujug divonis rakyat sudah sangat miskin makan tempe saja tipis irisannya. Padahal, dalam keadaan normal pun, dalam bancakan keluarga desa di Jawa, sebutir telur dibagi delapan atau bahkan 16; yang penting rata semua dapat. Begitulah kehdupan rakyat.
Apalagi kalau cuma kunjungan sekilas. Melihat warga makan tiwul diguyur sayur tewel lalu ngoceh di podium rakyat sudah makan gaplek, tak mampu lagi makan nasi. Padahal di daerah tertentu, tiwul yang dari gaplek itu sudah menjadi makanan sehari-hari rakyat.
Jadi, pahami dan maknailah fakta itu sesuai substansinya dan kepentingan rakyat. ***
0 komentar:
Posting Komentar