Artikel Halaman 8, Lampumg Post Kamis 19-09-2019
KPK, Akhir Riwayat Superbody!
H. Bambang Eka Wijaya
UNTUK membasmi korupsi yang pada awal era reformasi didaulat sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa), maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilahirkan sebagai lembaga independen yang 'superbody', tidak bisa diintervensi kekuasaan mana pun termasuk presiden dan unsur pemerintah.
Eksistensi KPK dalam sistem ketatanegaraan sebagai lembaga yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman (yudikatif) tersebut diteguhkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006. (Hukumonline.com, 11/2/2018)
Namun, pada 2017 merebaklah berita anomalik ketua MK yang sedang berusaha memproses perpanjangan masa jabatannya bertemu dengan anggota Komisi III DPR yang juga sedang butuh menekuk lutut KPK untuk bisa dijadikan objek Hak Angket DPR.
Faktanya, dalam kasus tersebut Dewan Etik MK menjatuhkan sanksi etik kepada ketua MK dimaksud yang terbukti melakukan pertemuan dengan anggota Komisi III DPR tanpa surat undangan resmi. Di balik saksi etik itu keluarlah buahnya: putusan MK nomor 36/PUU-XV/2017 yang mengubah eksistensi KPK, menempatkan lembaga antirasuah itu sebagai lembaga eksekutif khusus yang menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi, sehingga bisa menjadi objek Hak Angket DPR.
Itulah awal kalau mau disebut sebagai pelemahan terhadap KPK, bahkan dengan perubahan jati diri KPK secara eksistensial dari kodrat kelahirannya sebagai makhluk yudikatif menjadi makhluk eksekutif, dengan segala konsekuensinya.
Sebagai lembaga yudikatif yang independen, semula KPK bertanggung jawab kepada publik, check and balance (pengawasan dan keseimbangan) dilakukan oleh publik utamanya lewat pers, sedangkan secara sistemik yudikatif lewat praperadilan. Kasus praperadilan Budi Gunawan dan Hadi Poernomo yang mengalahkan KPK, masih berlaku dalam sistem KPK sebagai yudikatif.
Namun kemudian setelah MK mengubah eksistensi KPK, posisi KPK sebagai lembaga eksekutif pun dipermasalahkan check and balance-nya, seolah pengawasan publik dan sistemik praperadilan tak lagi cukup. Memang, sebagai lembaga eksekutif di bawah presiden KPK kini tak punya lagi kesaktian superbody produk reformasi.
Sebaliknya, dengan eksistensi kekiniannya KPK dengan mudah dijadikan ajang 'konspirasi' pemerintah dan DPR untuk mempreteli segala kesaktian istimewanya. Sampai akhirnya, harus mau ditempatkan di bawah dewan pengawas yang harus memberi izin tertulis kepada KPK setiap mau menangkap tangan korupator. ***
0 komentar:
Posting Komentar