Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Demokrasi Kita Berasal dari Desa!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Senin 02-09-2019
Demokrasi Kita Berasal dari Desa!
H. Bambang Eka Wijaya

PRAKTIK demokraai kita dewasa ini, kalau diurut sejarah asal-usulnya bukanlah dari Yunani atau Amerika, melainkan dari desa. Desa se-Nusantara sejak awal peradaban membuka desa terus berkembang dengan sistem demokrasi memilih pemimpin desa.
Itu pula yang mencirikan demokrasi kita lebih dekat dengan semangat kekeluargaan, dan proses pemilihan pemimpin lazim disebut pesta. Itu karena sejak pembukaan desa, proses pemilihan pemimpin dilakukan secara kekeluargaan dan berkembang menjadi pesta bagi-bagi rezeki.
Maka itu, jika survei LIPI (Kompas.com, 29/8/2019) menemukan masyarakat memandang politik uang merupakan bagian dari pemilu dan dianggap tidak dilarang, pandangan itu bersumber dari kelaziman demokrasi yang berlaku umum di desa. Pandangan sedemikian tak dikenal dalam sistem demokrasi Yunani maupun Amerika.
Saat membuka desa di Jawa dahulu, setelah ada sejumlah penduduk di desanya orang yang pertama membuka hutan di situ diangkat sebagai pemimpin mereka dengan sebutan Danyang. Turunannya yang kemudian menggantikan disebut Buyut. Terpenting pada masa awal itu, kepala desa berperan sebagai "Bapak" bagi warganya.
Peran sebagai "Bapak" berkembang sebagai "pelindung warga" menguat di zaman kerajaan. Kala itu kepala desa dipilih warga dengan kualifikasi khusus, punya keistimewaan (kesaktian) dan restu dari kekuasaan supradesa (adipati).
Di zaman Stanford Raffles berkuasa di Hindia Belanda (1811-1816) menemukan pemilihan kepala desa dengan sistem demokrasi terbuka. Setiap calon membuat barisan pendukung di lapangan. Calon yang barisan pendukungnya terpanjang, dia yang terpilih.
Cara itu rupanya rawan konflik horisontal. Lalu diganti dengan sistem "biting", yakni lidi yang diberi tanda khusus, untuk pemilih masukkan ke bumbung dalam ruangan tertutup. Setiap bumbung diberi lambang calon, seperti padi, jagung, jambu. Siapa dapat biting terbanyak, menang. Di zaman modern, biting diganti dengan surat suara.
Namun, penelitian Prijono Tjiptoherjanto dan Yumiko M. Prijono (1983) menemukan kemunduran substantif dalam demokrasi desa, akibat perubahan sosial dan ekonomi terjadi pergeseran kepemimpinan kepala desa yang tidak làgi menjadi "bapak" bagi rakyatnya. Peran kepala desa bergeser dari pemimpin ke administrator.
Demokrasi desa itu mungkin yang menjadi model demokrasi memilih eksekutif, menjadi administrator. Tapi untuk legislatif, cenderung bukan memilih pemimpin, bukan administrator: memilih bukan-bukan? ***


0 komentar: