Artikel Halaman 8, Rabu 25-09-19
Dunia Berkelit Menghindari Resesi!
H. Bambang Eka Wijaya
SETELAH Bank Sentral Eropa (ECB) menurunkan suku bunga acuannya hingga negatif (-0,5%), diperkuat berbagai stimulus moneter, Bank Sentral AS The Fed dan Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan yang sama besarnya, 25 basis poin pekan lalu.
Langkah serentak bank sentral dunia melonggarkan moneter itu untuk berkelit menghindari resesi, yang tanda-tandanya mulai terlihat di negara maju. Salah satunya, terjadinya kurva terbalik imbal hasil obligasi pemerintah AS, untuk tenor 10 tahun lebih rendah 2,1 basis poin dari tenor 2 tahun.
Bagi The Fed, ini penurunan suku bunga acuan kedua dalam 2019, setelah Maret lalu telah menurunkan 25 basis poin. Penurunan ini tren kebalikan dari beberapa tahun sebelumnya, yang sepanjang 2018 saja The Fed menaikkan sampai empat kali suku bunga acuannya. Itu mengimbas ke rupiah hingga pada 2018 kurs rupiah per dolar AS tembus Rp15.000.
Sedangkan bagi rupiah, penurunan suku bunga acuan tersebut merupakan yang ketiga tahun ini, sehingga dari semula 6% kini menjadi 5,25%. Menurut Menko Perekonomian Darmin Nasution yang mantan Gubernur BI, ruang penurunan suku bunga lanjutan bagi rupiah masih terbuka, karena perbandingan investor asing mengacu pada obligasi rupiah yang imbal hasilnya masih 7,25%.
Kalau pelonggaran moneter terjadi di seluruh dunia untuk menghindari resesi dengan mendorong pertumbuhan ekonomi global, tapi gejalanya ekonomi glibal masih terus melemah dan malah menjurus resesi, tentu pemerintah negara-negara wajib menyimak kebijakan mereka. Karena, bisa jadi pokok masalahnya bukan pada kebijakan moneter, tapi malah bersarang pada kebijakan pemerintah.
Misalnya, pemerintah AS tetap ngotot dengan proteksionisme dan tak surut dari perang dagang dengan Tiongkok yang jelas amat mengganggu rantai pasok global. Juga Uni Eropa dengan proteksionisme diskriminasi terhadap produk sawit.
Semua itu jelas mengganggu keseimbangan perdagangan bebas global yang apabila tanpa beban tarif ekstra sistem perdagangan fair dan persaingan sehat. Ekses proteksionisme tarif tinggi ini membuat ekonomi global sesak napas dan kalau tak ada penyembuhan yang tepat waktu, kondisi ekonomi dunia yang lebih parah tak bisa dihindari.
Di tengah kondisi global yang terus memburuk itulah, Indonesia selama ini berusaha meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Hasilnya tak terlalu buruk, setidaknya masih bisa bertahan pada pertumbuhan level 5%. Kondisi nyata yang layak disyukuri berkat ridho-Nya. ***
0 komentar:
Posting Komentar