Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Demo Hal Biasa dalam Demokrasi!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Kamis 10-10-2019
Demo Hal Biasa dalam Demokrasi!
Bambang Eka Wijaya

DEMO itu hal biasa dalam demokrasi. Oleh karena itu, demo tak bisa dinyatakan sebagai kegentingan yang mendesak untuk dijadikan dasar alasan menerbitkan Peraturan Pengganti Perundang-undangan (Peppu) oleh Presiden.
Untuk itu, semestinya penguasa dan aparat memandang dan memperlakukan demonstrasi dengan sikap wajar, sebagai hal yang biasa juga. Tidak paranoid, lantas merespon dengan tindakan berlebihan dalam menghadapi demo, seperti di Jakarta, Bandung, Makassar dan sejumlah kota besar lainnya.
Sikap wajar menghadapi demo mahasiswa dan pelajar episoda terakhir ini, layak dicontoh yang telah dilakukan aparat di Lampung dan Yogya. Di Lampung, meski sehari sebelumnya telah beredar seruan dari berbagai universitas di Bandarlampung agar besok mengosongkan kampus untuk berdemo, aparat tampak justru membantu kelancaran perjalanan massa menuju titik kumpul.
Mereka kawal sampai selesai mahasiswa orasi, dan utusan mereka bertemu DPRD menyampaikan tuntutan. Selesai semua acara kegiatan demo, aparat kembali mengawal massa kembali ke tempat masing-masing. Semua berjalan lancar dan aman. Bahkan di Yogya, usai acara demo, mahasiswa dan pelajar bersalaman dengan aparat polisi dan TNI yang mengawal demo.
Sebaliknya dengan sikap paranoid penguasa dan aparat, Gedung DPR sebagai 'rumah rakyat' dipagari tinggi dengan tiang besi yang besar-besar dan plat baja yang tebal. Terkesan kuat, para wakil rakyat itu sangat takut sekali pada rakyat yang diwakilinya.
Selain itu, tak ada ruang untuk demonstran menyampaikan aspirasinya. Akibatnya setiap demo massa harus menutup jalan arteri samping tol. Padahal di zaman Mojopahit saja, setiap alun-alun depan rumah Adipati, selalu ada lapangan rumput yang luas tempat rakyat 'pepe' (demo berjemur) untuk menyampaikan keluhan atau tuntutan kepada penguasa.
Sedang kini, di zaman demokrasi modern, pejabat negara dan wakil rakyat malah alergi dengan aspirasi rakyat! Kondisi itu menjebak aparat untuk represif pada demonstran.
Sementara itu, peristiwa yang mungkin bisa dijadikan dasar alasan oleh Presdien untuk merelis Perppu, mungkin justru situasi ketika DPR dan pemerintah membuta-tulikan diri dari aspirasi rakyat saat mereka menyelesaikan Revisi UU KPK.
Sikap DPR dan pemerintah membuta-tulikan diri dari aspirasi rakyat itu bisa mematikan demokrasi. Itu jelas sebuah kegentingan yang mendesak diselesaikan dengan Perppu yang menggugurkan janin hasil perselingkuhan DPR dan pemerintah tersebut. ***






0 komentar: