Artikel Halaman 8, Lampung Post Kamis 03-10-2019
Mundur, Pelajar Dilarang Demo!
H. Bambang Eka Wijaya
MEREKA yang sekolah menengah 1960-an awal, merasakan serunya para pelajar aktif di ormas ekstra sekolah: PII, IPNU, GSNI, GSKI, IPA (Ikatan Pelajar Al-Washliyah), dan sebagainya. Klimaksnya 1965, ormas pelajar bergabung dalam Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) demo menebang pemerintahan Orde Lama yang pro-komunis.
Tanpa aksi bersama dengan massa pelajar sebagai ujung tombaknya, negeri ini mungkin telah menjadi negeri komunis karena kala itu komunis diayomi penguasa. Bahkan prolog G30S PKI, Januari 1965 yang pertama dibantai PKI di Kediri adalah puluhan pelajar yang sedang mangikuti training center PII. Nah kalau sekarang pelajar dilarang demo, berarti negeri ini tengah ditarik mundur 60 tahun.
Larangan demo itu dikeluarkan oleh instansi pengelola pendidikan karena demo pelajar di Jakarta berakhir ricuh pekan lalu. Dalam demo itu terkesan para pelajar tidak tahu apa yang mereka perjuangkan. Mayoritas cuma ikut-ikutan.
Kenyataan pelajar 'zaman mow' plonga-plongo tak mengerti politik itu menyedihkan. Dibanding pelajar era 1960-an, nyaris seperti langit dan bumi. Kondisi pelajar 'zaman now' seperti itu adalah sukses dari Ode Baru menghabisi ormas pelajar, diintegrasikan ke OSIS.
Sebenarnya tak masalah dengan OSIS jika terkelola baik. Tapi kebanyakan tak terkelola dengan baik, malah dijadikan sarana membungkam pelajar. Orde Baru berhasil menjadikan pelajar the silent majority.
Memasukkan pelajar dalam barisan massa bisu politik itu nyata bertentangan dengan tujuan universal pendidikan menciptakan massa kritis (critical mass). Maju mundurnya pendidikan suaru negara secara unversal bisa diukur dengan penciptaan critical mass. Kalau mayoritas pelajar setara SMA plonga-plongo seperti demonstran pelajar di Jakarta pekan lalu, bisa disimpulkan pendidikan di negeri itu masih jauh dari tujuan universal.
Kalau mengingat dalam ormas pelajar masa lalu pelajar digembleng nasionalismenya, pada ormas yang berorientasi Islam diperkuat pemahaman amar makruf nahi mungkar sebagai dasar pembentukan akhlakul kharimah, pelajar yang plonga-plongo tanpa bekal serupa pasti lebih rawan ideologi radikal dan lemah membedakan yang baik dan buruk bagi bangsa.
Akhirnya tampak yang dibutuhkan justru kebangkitan kembali ormas-ormas pelajar untuk menggembleng nasionalisme dan semangat amar makruf nahi mungkar guna mempertahankan negeri ini ke masa depan. Jika dua hal itu lemah negeri ini akan lebih cepat dikuasai koruptor mungkar, sehingga bisa lebih cepat runtuh. ***
0 komentar:
Posting Komentar