Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Stunting pun Turun Menjadi 27,67 Persen!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Selasa 22-10-2019
Stunting pun Turun Menjadi 27,67%!
H. Bambang Eka Wijaya

BERDASAR pendataan Kementerian Kesehatan dan Badan Pusat Statistik (BPS), selama lima tahun pemerintahan Jokowi-JK telah berhasil menurunkan angka stunting balita di Tanah Air dari 37% menjadi 27,67%. Sukses ini semakin mendekati batas maksimum stunting dari Badan Kesehatan Dunia (WHO), 20%.
Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek menyebut, angka terakhir itu tercapai setelah pada tahun terakhir angka stunting nasional berhasil diturunkan 3,1% dari 2018. Jika capaian tahun terakhir itu bisa dipertahankan ke depan, pada 2024 Indonesia bisa mencapai batas stunting WHO, kata Nila Moeloek.
Meski demikian, kata Menkes, capaian 2019 ini pun sudah cukup melegakan, karena Indonesia bisa lepas dari stunting 37% atau selevel dengan Ethiopia! Di level itu Indonesia menjadi sororan dunia, karena sebagai negara yang masuk kelompok negeri makmur G-20, angka stunting balitanya berada di level terburuk. Tapi kini dengan angka 27,67, posisi Indonesia masuk stunting menengah.
Untuk menurunkan stunting, Kemenkes selama ini melakukan intervensi dengan memberikan bantuan makanan dan bersama kementerian lain memberikan perbaikan sanitasi. Namun, pada dasarnya, stunting bisa diatasi dimulai dari keluarga, terutama dalam pola asuh dan asupan makanan sehat.
"Yang harus berubah perilaku itu masyarakat. Kita harus jaga diri kita sendiri. Kita harus bekerja sama," kata Menkes dikutip detik.com (18/10/2019)
Stunting adalah kondisi ketika tubuh anak lebih pendek dibanding anak-anak lain seusianya. Dengan kata lain, tinggi badan anak di bawah standar. Penyebab utama stunting kekurangan gizi kronis sejak bayi dalam kandungan hingga masa awal anak lahir. Kondisi stunting terlihat setelah anak berusia dua tahun.
Kekurangan gizi kronis sejak dalam kandungan dialami kebanyakan akibat kemiskinan dengan pola hidup yang buruk. Salah satu kebiasaan buruk itu, menurut Kepala BPS Suhariyanto, menjadikan rokok prioritas pengeluaran kedua setelah beras, hingga mengesampingkan kubutuhan asupan pangan sehat bergizi.
Andil rokok terhadap kemiskinan, menurut Kepala BPS, 11,38% di pedesaan, dan 12,22% di perkotaan. Namun, apakah penaikan cukai rokok 23% yang menurut perkiraan BPS akan menaikkan harga rokok 32%, bisa mengurangi perokok aktif dari warga miskin?
"Rokok ini terus naik, inflasi dari rokok ini naik," tukas Suhariyanto. Belanja rokok yang besar membuat warga miskin tak mampu membeli makanan bergizi buat ibu hamil dan balita yang menyusu. ***

0 komentar: