Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Kala Moral Kekuasaan Trump Minus!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Senin 08-06-2020
Kala Moral Keuasaan Trump Minus!
H. Bambang Eka Wijaya

PRESIDEN Donald Trump foto memegang kitab suci di halaman gereja  Episkopal St. John di seberang jalan Gedung Putih untuk menjustifikasi dengan moralitas agama tindakannya menindas dengan kekerasan aksi damai pemrotes kematian Grorge Floyd.
Akibatnya, para pemuka agama Kristen AS murka kepada Trump. "Itu (tindakan kekerasan Trump) traumatis dan sangat ofensif, dalam arti bahwa sesuatu yang sakral disalahgunakan untuk isyarat politik," kata Uskup Episkopal Washington Mariann Budde di stasiun radio publik NCR, seperti dilansir kantor berita AFP Rabu (3/6/2020).
Budde mengatakan Trump menggunakan "kekuatan dimbolis kitab suci, memegangnya di tangannya seolah-olah itu adalah pembenaran posisi dan otoritasnya."
"Protes pada saat itu sepenuhnya damai," tegas Budde, sama sekali tidak ada pembenaran untuk ini," imbuhnya.
Sesi foto Trump itu dilakukan setelah aparat menembakkan gas air mata untuk membubarkan para demonstran damai kasus George Floyd di sekitar gereja, untuk membuka jalan buat Trump menuju ke gereja.
Para pemimpin Episkopal lainnya mengecam kunjungan Trump ke gereja Episkopal St.John sebagai hal "memalukan dan menjijikkan secara moral."
"Hanya dengan memegang tinggi-tinggi sebuah Alkitab yang belum dibuka, dia mengklaim mendapat dukungan Kristen dan menyiratkan bahwa itu termasuk Gereja Episkopal," kata para uskup dari New England dalam sebuah pernyataan. (detiknews 3/6/20).
Trump berusaha mengeksploitasi kekuatan moral keagamaan itu setelah menyadari kekuatan moral kekuasaanya sendiri minus, tak mampu meredam atau menurunkan tensi eskalasi demonstrasi anti-diskrikinasi rasial yang merebak di lebih 140 kota besar dan kecil negerinya. Kekuatan moral kekuasaan Trump minus bagi demonstran anti-rasis itu karena semangat diskriminasi ras yang belakangan marak di AS itu disulut oleh Trump sendiri sebagai resep unggulan memenangi pemilu.
Lazimnya, dengan kekuatan moral kekuasaan seorang pemimpin cukup hanya dengan perkataannya saja, ampuh untuk meredam konflik atau menurunkan ketegangsn politik dalam masyarakat negerinya. Namun hal itu tak terbukti pada Trump, yang setiap ucapannya kontroversial dan justru membuat konflik kian membara. Khususnya lagi terkait dengan diskriminasi ras yang justru identik dengan persona Trump itu sendiri.
Hal itu bisa menjadi peringatan bagi politikus yang bermain politik populis dengan mengeksploitasi sentimen SARA untuk menang pemilihan, suatu saat bisa kena batunya. ***



0 komentar: