Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Lewat Demokrasi Membangun Tiran!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Jumat 09-10-2020
Lewat Demokrasi Membangun Tiran?
H. Bambang Eka Wijaya

MASALAH utamanya, pemerintah dan DPR dalam membuat Undang-Undang cenderung mengesampingkan serta menghindari partisipasi rakyat (publik). Terkesan, lewat proses demokrasi justru membangun tiran absolut yang lepas dari kontrol publik.
Kesan demikian tentu naif. Tapi gejala pemerntah dan DPR) menjurus ke perilaku tiran absolut itu justru kian menguat.
Artinya, kalau memang tidak ke arah sana tujuan sebenarnya, belum terlambat jika pemerintah dan DPR segera mengoreksi sendiri langkahnya itu. Lain hal tentu, kalau hal itu memang sudah merupakan suatu ketetapan hati.
Gejala pemerintah dan DPR menghindari partisipasi publik dalam membuat UU itu terlihat sejak revisi UU KPK. Sedangkan gelagat tersebut menjurus ke pembentukan tiran, terkesan dari perubahan orientasi substansi UU KPK.
KPK sebagai lembaga negara independen buah reformasi merupakan turunan dari Tap MPR tentang kontrol terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) Presiden, keluarga dan kroninya.
Bertolak dari perubahan KPK sebagai bagian yudikatif sebagaimana dimakdud Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945, sesuai putusan MK 012-016-019/PUU-IV/2006, menjadi bagian eksekutif sesuai keinginan DPR untuk mempansuskan KPK, melalui putusan MK 36/PUU-XV/2017. Saat revisi UU-nya, KPK ditempatkan di bawah kekuasaan presiden.
Jadi, KPK yang semula dilahirkan untuk mengontrol KKN presiden, keluarga dan kroninya, lewat revisi malah ditempatkan di bawah kaki presiden. Presiden Jokowi tampak risih dengan hasil revisi UU KPK yang dikebut tertutup dari publik itu, hingga ia tak mau tanda tangan UU tersebut. Tapi kadung disahkan, hingga kepada desepuh bangsa ia janji akan membuat Perppu membatalkan revisi UU itu..
Tapi Jokowi tak keberatan pada oknum-oknum pemerintah dan DPR pembuat UU yang ngebut tanpa partisipasi publik itu. Maka berlanjutlah pola tersebut pada pembuatan UU selanjutnya.
UU  Minerba (Mineral dan Batubara), dikebut tanpa partisipasi publik karena mengejar waktu matinya sejumlah izin pertambangan batubara milik oligarki kalau tak ada UU baru.
Terakhir Omnibus Law UU Cipta Kerja. Bukan partisipasi dukungan prosesnya, tapi justru protes sari segala penjuru yang bidangnya diutak-atik Omnibus Law. Setelah disahkan disambut mogok nasional buruh selama tiga hari, dan demo mahasiswa seantero negeri.
Sampai situ, pemerintah dan DPR sebaiknya menimbang langkahnya yang menjurus tiran menyakiti rakyat itu. Kalau tidak, relakan terekam sejarah sebagai rezim totaliter. ***








0 komentar: