Artikel Halaman 8, Lampung Post Rabu 07-10-2020
RUU Cipta Kerja Picu Ketidakpastian!
H. Bambang Eka Wijaya
SELESAINYA pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja di DPR, disambut buruh dari 32 organisasibserikat pekerja dengan mogok nasional. Buruh melakukan itu karena substansi RUU tersebut dinilai merugikan kaum buruh.
RUU itu dibuat dengan tujuan memudahkan proses investasi, sehingga investor tertarik menanamkan modalnya di Indonesia. Namun, selain buruh, berbagai organisasi masyarakat juga menolak RUU tersebut, dari NU, Muhammadiyah, PGRI, koalisi masyarakat sipil hkngga Partai Demokrat dan PKS..
Muhammadiyah misalnya, dalam pernyataan tertulis ke DPR menyatakan, RUU tersebut sangat rapuh dan bertentangan dengan moralitas konstitusi nilai Panvasila yang termaktub dalam UUD 1945.
Penolakan luas itu, dironai pemaksaan pembahasannya di tengah pandemi Covid-19.
Karena itu wajar jika peneliti Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, RUU Cipta Kerja tak akan berpengaruh signifikan terhadap daya saing investasi. Menurur dia, adanya beleid ini justru menimbulkan ketidakpastian lantaran banyak aturan berubah di masa resesi.
"Omnibus Law mengubah ribuan pasal sehingga butuh ribuan aturan teknis, baik level Peraturan Pemerintah (PP), sampai peraturan menteri dan peraturan daerah (perda) yang berubah," ujarnya kepada Tempo (4/10/2020).
Padahal, di daerah dewasa ini masih ada lebih 3.000 Perda yang meski telah dibatalkan oleh Mendagri, tapi putusan Mendagri itu dibatalkan MK dengan putusan No. 137/PUU-XIII/2015. Jadi akan ada benturan aturan di lapangan.
Menurut Bhima, di masa krisis investasi justru membutuhkan kepastian aturan. Kemudian, adanya aksi penolakan Omnibus Law bisa merusak hubungan industrial di level paling mikro hingga tingkat manajemen perusahaan. Ini akan menurunkan produktivitas dan kinerja perusahaan.
Kondisi nasional yang ditengarai dengan kacaunya sistem hukum nasional itu dipeebueuk lagi oleh banyak UU yang dibongkar untuk dicomot sebagian ke Omnibus Law, hingga sisanya berantakan kehilangan sinkronisasi.
Itu akibat dalam menyusun UU yang berdimensi luas hanya dalam waktu singkat, seolah hanya mengisap jempol mengira-ngira apa yang menguntungkan investor asing, tanpa peduli berakibat menyengsarakan rakyat sendiri.
Belanda penjajah saja membuat UU lewat penelitian bertahun-tahun, seperti Hukum Adat yang didahului riset tim Van Vollenhoven.
Sedangkan ini menyusun Omnibus Law yang merangkum berbagai hukum tanpa riset memadai. Mengandalkan kekuasaan semata. ***
0 komentar:
Posting Komentar