Artikel Halaman 8, Lampung Post Selasa 27-10-2020
Pergeseran Paradigma Pembangunan?
H. Bambang Eka Wijaya
TANPA disadari, kini sedang terjadi gejala pergeseran paradigma dari "pembangunan Indonesia" ke "pembangunan di Indonesia". Itu dua hal yang berbeda, bahkan kontras.
Terminologi "pembangunan Indonesia" di sini adalah idealisasi reformasi sebagai antitesis dari sistem Orde Baru yang sentralistik, otoriter, dan korup.
Untuk itu, reformasi bukan hanya membalikkan sentralisme ke desentralisasi dengan otonomi daerah yang seluas-luasnya, tapi juga mengembalikan kedaulatan (kekuasaan tertinggi negara) ke tangan rakyat, sesuai konstitusi.
Dengan itu, segala dimensi "pembangunan Indonesia" diorienrtasikan pada pemuliaan dan kemuliaan manusia Indonesia.
Sementara "pembangunan di Indonesia" mirip yang dilakukan Daendels. Ia bangun jalan raya 1.000 km dari Anyer (pantai barat Banten) ke Panarukan (Situbondo, pantai timur Jawa Timur), dengan memperbudak warga pribumi Indonesia untuk kerja paksa.
Diperbudak dalam arti sesunguhnya, orang yang dipaksa bekerja tanpa digaji jika terlihat bermalasan dicambuk.
Pembangunan jalan itu untuk memperlancar bisnis perusahaan konglomerat negeri penjajah, VOC. Untuk memfasilitasi VOC ini pula, Daendels memberlakukan Tanam Paksa kepada para petani Indonesia. Tanam paksa dilakukan untuk produk ekspor seperti rempah (lada, cengkeh, pala), kopi dan lainnya.
Hasil panen petani lewat tanam paksa itu dibeli Belanda dengan harga amat murah, padahal di Eropa harganya semahal emas; hanya bisa dinikmati orang-orang kaya. Keuntungan VOC dari memeras tenaga kerja yang diperbudak dan mengeruk hasil bumi Tanah Air lewat tanam paksa itu, sepenuhnya ditransfer ke negerinya, tak sedikit pun buat rakyat yang diperas tenaga dan sumber daya alamnya.
Model pembangunan seperti itulah yang cenderung dipaksakan "di Indonesia" menyusul selesainya pembangunan jalan tol 1.000 km dari Merak (pantai barat Banten) ke Banyuwangi (pantai timur Jawa Timur). Yakni dengan memfasilitasi dalam segala hal buat konglomerat asing untuk investasi "di Indonesia" mengisi peran VOC.
Mendukung "pembangunan di Indonesia" itu, menggantikan kerja paksa dan tanam paksa di masa lalu, kini diisi dengan aturan pemaksa, yang memperluas pemerasan bukan hanya pada manusia dan kekayaan alam negerinya, tapi juga mengkooptasi pola hidup dari demokrasi hingga budaya masyarakat adat.
Namun, karena pergeseran ke "pembangunan di Indonesia" itu baru gejala, pengembaliannya ke paradigma "pembangunan Indonesia" yang benar, masih mungkin. ***
0 komentar:
Posting Komentar