Artikel Halaman 8, Lampung Post Kamis 17-12-2020
Ini Dia, Extrajudicial Retribution Killing!
H. Bambang Eka Wijaya
SAAT didesak presenter Fox News tentang dorongannya terhadap tindakan polisi Lacey, Washington, menembak mati di luar hukum Reinoehl, aktivis antifasis, Presiden Trump menjawab tindakan polisi itu sebagai extrajudicial retribution killing.
Istilah tetribusi yang ia ucapkan mengacu pada penjelasan lanjutan, "This guy (Reinoehl) was a violent criminal." (Fox News, 12/9/2020) Korban disebut Trump sebagai pelaku kejahatan dengan kekerasan (di sini Curas).
Retribusi di situ berarti sebagai ganjaran yang setimpal atas kejahatan yang telah dilakukan. Ungkapan klasiknya, utang nyawa bayar nyawa, utang mata bayar mata.
Istilah extrajudicial retribustion killing itu warisan dari jaman Koboi Amerika, di mana seorang Masrshall (Kapolres) membuat edaran yang ditempel di polsek-polsek (kantor Sherif) lukisan wajah seorang buron untuk para pemburu hadiah agar menangkap hidup atau mati buron tersebut dengan imbalan sejumlah uang.
Hukuman mati dengan peluru pemburu hadiah atau tiang gantungan di polsek bagi penjahat buron, itulah yang disebut dengan retribusi, ganjaran yang setimpal atas kejahatan si buron yang selalu tanpa segan menghilangkan nyawa korbannya.
Jadi, meskipun dilakukan di luar putusan pengadilan, extrajudicial retribution killing diterima masyarakatnya sebagai tradisi yang lazim di zaman koboi itu. Tetapi di zaman modern sekarang, extrajudixial killing itu dengan segala versinya dilarang, digolongkan sebagai tindakan melanggar hukum.
Oleh karena itu, jika di zaman modern sekarang ini terjadi extrajudicial killing, pelakunya harus diproses hukum secara terbuka. Apakah pelakunya melakukan itu sebagak tindakan membela diri akibat terdesak oleh ancaman yang datang dari korban, diserahkan kepada pengadilan yang menentukan.
Tentu saja jalau terbukti benar petugas melakukan sebagaj tindakan terpaksa untuk membela diri, pelakunya bisa divonis bebas. Tapi proses hukum harus dilakukan secara fair dan terbuka.
Artinya, kasusnya dilokalisir pada para pelaku yang diduga telah melakukan pelanggaran SOP maupun disiplin. Itu tahapan kunci. Bukan ditarik ke atas, apalagi diambil alih jadi tanggung jawab pimpinan, itu akan membuat kasusnya melebar dan bahkan bisa terus berantai menjerat pimpinan hirarki teratas. Akibatnya, yang terjadi malah kejahatan rezim.
Jadi harus cepat dijernihkan kasusnya dengan kanalisasi pelanggaran SOP dan disiplin pasukan. Kaitannya ke atas, serahkan pengadilan yang menentukan. ***
0 komentar:
Posting Komentar