Artikel Halaman 12, Lampung Post Rabu 10-03-2021
Aura Antimodal Asing 'Ngidap-Idapi'!
H. Bambang Eka Wijaya
AURA--pancaran energi--anti-modal asing masyarakat Indonesia ngidap--idapi. Itu ungkapan Jawa untuk "top of mind". Tapi kalau belanja daring, memilih barang "branded" (produk asing). Demikianlah ambiguitas sikap kita antara terhadap modal dan produk asing.
Aura anti-modal asing orang Indonesia "sudah di ubun-ubun" itu bukan isapan jempol. Bahkan merupakan hasil penelitian Bank Dunia (2019) tentang sikap restriktif masyarakat Indonesia terhadap modal asing dalam hal ini Foreign Direct Investment (FDI).
Dilansir CNBC-Indonesia (4/9/2020), tingkat restriksi Indonesia terhadap FDI tertinggi di antara negara-negara yang disurvei, yakni dengan skor 0,31. Di peringkat kedua Malaysia 0,25 dan Tiongkok 0,25. Lalu India 0,21, disusul Meksiko 0,19, Vietnam 0,13 dan Brasil 0,09.
Tingkat restriksi yang tertinggi terhadap FDI itu menunjukkan kita tidak ramah terhadap investasi asing, enggan atau bahkan membatasi.
Mungkin faktor itu yang membuat ketika para investor harus memindahkan pabriknya dari Tiongkok saat perang dagang, tak satupun investor pindah lokasi ke Indonesia. Tapi memilih Vietnam yang tingkat restriksinya 0,13, terendah kedua setelah Brasil.
Berlawanan dengan kuatnya aura anti-modal asing dalam masyarakat kita itu, dalam membeli masyarakat kita lebih cenderung memilih barang "branded" alias bermerk asing.
Hal itu membuat Presiden Jokowi dalam rapat nasional Kementerian Perdagangan pekan lalu menyerukan, agar menggaungkan anti-produk asing. Maksudnya supaya masyarakat lebih menggandrungi produk dalam negeri.
Namun, seruan Jokowi agar menggaungkan anti-produk asing itu dinilai pengamat kurang tepat. Karena dalam kondisi Indonesia di pergaulan internasional yang sangat baik sekarang, seruan seperti itu kurang pas. Bisa dinilai negara-negara lain sebagai kebijakan proteksionisme.
Jadi ruwet kalau sampai dinilai begitu. Karena negara-negara lain akan melakukan langkah balasan. Bisa mengganggu kelancaran ekspor kita. Padahal ekonomi Indonesia ekspor oriented. Jadi, kampanye anti-produk asing sama dengan bunuh diri ekonomi.
Karena itu, kebijakan tersebut harus segera diperbaiki, bukan anti-produksi asing, tapi kampanye mencintai produksi dalam negeri.
Seiring itu, untuk mendukung Omnibus Law UU Cipta Kerja mengundang investasi, juga dikampanyekan cinta modal asing. Ini untuk merespon hasil penelitian Bank Dunia mengenai sikap restriktif orang Indonesia terhadap modal asing yang tertinggi di dunia. ***
0 komentar:
Posting Komentar