Artikel Halaman 12, Lampung Post Sabtu 20-03-2021
Dicari, Pemimpin Merakyat yang Holistik!
H. Bambang Eka Wijaya
PEMIMPIN merakyat yang holistik adalah pemimpin yang kebepihakannya kepada rakyat komplit, paripurna, lahir-batin, bukan bersifat parsial hanya dalam hal tertentu, atau apalagi sekadar pencitraan belaka.
Empatinya menyatukan rasa pada dirinya sebagai syaraf rasa rakyat. Sehingga, ketika rakyat merasakan suatu detita, sakitnya akibat derita tersebut langsung dirasakan oleh sang pemimpin. Dengan begitu si pemimpin segera mencari solusi untuk meringankan derita itu.
Contohnya saat panen raya produksinya melimpah, harga gabah petani anjlok jauh di bawah harga pokok pembelian pemerintah (HPP). Ia cari tahu penyebab utamanya, ternyata karena tersiarnya wacana impor beras 1,5 juta ton untuk iron stock.
Ia pun segera menghentikan semua kegiatan untuk impor beras tersebut. Lalu, untuk memulihkan harga gabah petani yang anjlok diatasi dengan segera mengerahkan Bulog membeli gabah petani sebagai pengganti beras impor untuk iron stock.
Demikianlah solusi dari pemimpin merakyat yang holistik, berorientasi pada kepentingan rakyat. Tentu akan berbeda jika kemerakyatan pemimpinnya sekadar pencitraan.
Contoh lain tentang ketentuan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang pada aturan lama UU Nomor 13/2003 Pasal 59 ayat 4: "Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun."
Namun dalam PP 35/2021 sebagai turunan UU Cipta Kerja No.11/2020, aturan tersebut diubah menjadi, "PKWT berdasarkan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat dibuat untuk paling lama 5 (lima) tahun." Demikian bunyi Pasal 8 ayat (1). Lalu ayat (2), perusahaan diperbolehkan memerpanjang kontrak PKWT yang telah selesai maksimal selama lima tahun.
Jadi, pemimpin lama yang merakyat menetapkan pekerja kontrak hanya boleh 3 (tiga) tahun selanjuynya diangkat jadi karyawwn tetap. Sedangkan pemimpin masa kini menetapkan kontrak 5 (lima) tahun 2 (dua) kali, dan setelah 10 tahun tak ditegaskan harus diangkat sebagai karyawan tetap.
Demikianlah contoh kemerakyatan pemimpin, lama cenderung holistik sedang yang kini hanya pencitraan semata sehingga praktis menyengsarakan rakyat.
Perlu ditegaskan, ke depan yang dicari adalah pemimpin merakyat yang holistik, agar dalam mengelola perubahan ke masa depan menjadi lebih baik orientasinya pada kepentingan rakyat, bukan coma pencitraan. ***
0 komentar:
Posting Komentar