Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Falsifikasi dalam Keadilan Restoratif!

Artikel Halaman 12, Lampung Post Senin 01-03-2021
Falsifikasi dalam Keadilan Restoratif!
H. Bambang Eka Wijaya

REVISI UU ITE diserukan wartawan Lampung saat diskusi di Warta Kopi, Juli 2020. Disarankan, agar UU ITE dilengkapi pasal falsifikasi, sejenis "hak jawab" dalam UU tentang Pers.
Kini peluang merevisi UU ITE dibuka Presiden Jokowi. Bahkan Presiden minta kepolisian selektif dalam penggunaan UU ITE.
Arahan Presiden itu ditindaklanjuti Kapolri dengan SE dan ST ke jajarannya, untuk melaksanakan keadilan resoratif, utamanya terkait kasus delik aduan penghinaan atau pencemaran nama baik. Pemidanaan jadi pilihan terakhir. Legal standing pengadunya harus langsung korban yang bersangkutan. Tidak boleh pihak lain.
Restoratif dari kata restorasi, mengembalikan pada keadaan semula. Contohnya Restotasi Borobudur, memperbaiki kondisi Candi Borobudur yang rusak kembali menjadi seperti sedia kala.
Keadilan restoratif, berarti mengembalikan kondisi pada keadaan sebelum ada peristiwa yang dinilai menyinggung perasaan korban.
Untuk mencapai keadilan restoratif perlu negosiasi antara pelaku dan korban yang dimediasi polisi. Keadilan restoratif tercapai ketika yang salah mau mengakui kesalahannya dan meminta maaf, yang tersinggung atau korban juga bersedia memaafkannya.
Untuk kesiapan bernegosiasi kedua pihak itulah perlunya falsifikasi. Yakni, suatu keniscayaan manusia itu makhluk yang tidak sempurna, sehingga tak luput dari kesalahan, atau kekurangan.
Falsifikasi berasal dari pemikiran Karl R. Popper, ilmu pengetahuan sebagai karya manusia yang tidak sempurna, (suatu ketika) harus bisa dibuktikan salah. Kalau tak bisa (tak boleh) dibuktikan salah itu mitos atau ideologi.
Penerapan falsifikasi dalam keadilan restoratif terkait UU ITE, masalah utamanya penggunaan bahasa dalam komunikasi di ruang publik, tak pula terlepas dari pemikiran Popper.
Menurut Popper diri kita berkembang melalui interaksi yang terus-menerus dengan fungsi-fungsi bahasa yang tinggi, deskriptif dan argumentatif, sebagai proses objektifikasi dunia mental manusia.
 Lewat interaksi deskriptif dan argumentatif yang terus-menerus itu manusia berevolusi menyesuaikan diri hingga lebih spesifik, sebagai persona rasional dan kritis. Interaksi inter-persona rasional kritis itu membentuk masyarakat terbuka yang demokratis.
Merevisi UU ITE dengan keadilan restoratif, berarti pemerintah siap menerima kehadiran masyarakat terbuka yang kritis demokratis, menggantikan masyarakat tertutup kurang demokratis sejak revisi UU KPK yang membungkam partisipasi rakyat. ***


0 komentar: