"DI kantor pekerjaan bertumpuk, tak selesai dari pagi sampai tutup kantor, pulang langsung ke pasar belanja, sampai rumah menyiapkan bukaan dan makan malam!" ujar perempuan karier. "Siap buka, salat magrib berjamaah ke masjid, pulang makan malam, kembali ke masjid salat tarawih! Selesai itu baru tidur! Belum puas tidur, bangun menyiapkan makanan sahur, siap sahur beres-beres dapur dan mencuci piring! Lalu salat subuh ke masjid, pulangnya mencuci pakaian dilanjutkan menyetrika! Kemudian menyiapkan anak-anak ke sekolah dan diri sendiri berangkat ke kantor! Sampai kantor, tumpukan pekerjaan menunggu yang tak selesai dikerjakan sampai jam pulang!"
"Mengeluh, nih?" sambut suami.
"Bukan mengeluh! Saya dan perempuan seperti saya semua melakukannya dengan ikhlas kok!" jawab perempuan karier cepat. "Itu tadi cuma mengingat agenda rutin, yang tak boleh terlewat satu pun karena seperti jalannya planet dan bintang-bintang di jagat raya, salah satunya saja menyimpang bisa terjadi disharmoni!"
"Kalau ikhlas, mau apa lagi?" timpal suami. "Itukan bagian dari kemajuan zaman emansipasi, sekaligus buah perjuangan kesetaraan gender!"
"Kesetaraan gender!" entak perempuan karier. "Konsep kesetaraan gender aslinya bukan cuma perempuan menangani pekerjaan pria, tapi timbal balik, pria menangani pekerjaan perempuan! Jika perempuan saja menangani pekerjaan pria, lantas pekerjaan perempuan sepenuhnya tetap ditangani perempuan juga, jelas perempuan yang gempor!"
"Tapi di negeri kita, terutama dalam budaya Jawa, dianggap saru dan tabu hingga diberi julukan negatif cupar kalau pria menangani pekerjaan perempuan!" tegas suami.
"Pria cupar dipandang rendah, karena dinilai tidak percaya pada istri!"
"Tabu itu budaya lama, feodalistik, seperti halnya perempuan harus dipingit hanya menangani pekerjaan dalam rumah—hingga diperjuangkan emansipasi atau pemerdekaannya dari pemingitan itu oleh Raden Ajeng Kartini!" tegas perempuan karier. "Tapi kini setelah merdeka lengkap dengan kesetaraan gender, tabu itu sudah tak relevan bahkan bertentangan dengan tuntutan zaman!"
"Jangan coba-coba melawan tabu budaya, apalagi menghabisinya, bisa kualat!" timpal suami. "Konon pula di balik tabu itu, keikhlasan suami dalam menerima pelayanan istri—nyaris dalam segala hal—menjadi penentu baik-buruknya amal pengabdian seorang istri dunia-akhirat!"
"Rupanya emansipasi dan kesetaraan gender baru kulitnya!" tukas perempuan karier.
"Sedang intinya, belenggu tabu budaya, belum tuntas!" ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Jumat, 13 Agustus 2010
Perempuan Karier di Bulan Puasa!
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar