Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Redenominasi, untuk Selubungi Ketimpangan!


"AMIN menabung di celengan sisa uang jajannya setiap hari satu koin, talen atau ketip. Setelah 100 koin, sesuai hitungan di ingatannya dari hari ke hari, jumlahnya Rp14,05. Berapa koin talen dan koin ketip dalam celengan Amin?" cucu membaca di monitor komputer kakek. "Ini soal apa, Kek?"

"Soal aljabar SMP kelas 2 tahun 1950-an!" jawab kakek. "Persamaan tersamar dengan dua bilangan anu—pertama talen bernilai 25 sen per koin, kedua ketip dengan nilai 10 sen per koin"

"Sulit amat!" entak cucu. "Kakek tulis buat apa?"

"Persiapan menyusun buku excercise aljabar, menyongsong redenominasi rupiah!" jelas kakek. "Kalau redenominasi memangkas tiga angka nol dari nilai rupiah sekarang, harus disiapkan uang receh untuk rakyat jelata—sen (seperseratus rupiah), gobang (satu seperempat sen atau setengah benggol), benggol (dua setengah sen), kelip (lima sen), ketip (10 sen), talen (25 sen), dan suku (50 sen). Kita kembali ke zaman Belanda."


"Rumit sekali ragam satuan mata uang recehan untuk rakyat jelata itu!" timpal cucu.

"Memang, jauh lebih rumit dari satuan tunggal rupiah pada mata uang sekarang!" tegas kakek. "Maka itu, kalau redenominasi disebut untuk penyederhanaan mata uang, jelas keliru banget!"

"Lantas, sebenarnya untuk apa?" kejar cucu.

"Untuk menghilangkan kerisihan elite yang bergaji puluhan juta sebulan, seperti DPR Rp65 juta, atau Gubernur BI Rp235 juta, jauh sekali jaraknya dari pendapatan mayoritas rakyat—upah minimum buruh cuma Rp750 ribu sebulan! Jika dipotong tiga nolnya jadi tak ada lagi sebutan juta, apalagi ratusan juta, jadi terkesan tak ada ketimpangan!"

"Buset! Jadi redenominasi rupiah yang menguras dana menyiapkan mata uang baru dan sosialisasi itu hanya untuk menyelubungi ketimpangan pendapatan atau justifikasi ketimpangan sosial yang amat tajam?" timpal cucu. "Lalu rakyat jelata disusahkan pula dengan mata uang receh buat mereka yang ragam satuannya amat rumit!"

"Juga mempermudah korupsi!" tegas kakek. "Dengan uang sekarang, korupsi atau terima suap miliaran uangnya berkarung, susah disimpan di rumah, di bank tercium PPATK seperti Gayus!"

"Demi kepentingan elite berpendapatan besar dan koruptor, redenominasi pasti jadi!" timpal cucu. "Ternyata kemerdekaan seperti jalan melingkar, setelah 65 tahun merdeka kita kembali ke awal—zaman Belanda—di mana ketimpangan sosial punya banyak justifikasi! Rakyat jelata pun harus bawa pundi-pundi untuk recehan, jenis mata uang yang mampu mereka dapatkan!" ***

0 komentar: