"LKBN—Lembaga Kantor Berita Nasional—Antara melaporkan dari Ruteng, Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) Minggu (4-9), sekitar 900 jiwa dari 250 kepala keluarga transmigran dilanda kelaparan di Kabupaten Ngada akibat anomali iklim yang menyebabkan dua tahun gagal panen!" ujar Umar. "Untuk bertahan hidup, mereka cari umbi-umbian dari hutan untuk direbus. Pada 2010 mereka bertahan dengan mengonsumsi pisang dari kebun warga setempat, namun kini pisang-pisang itu pun sudah mati karena kekeringan!"
"Pada hari sama Antara melaporkan dari Kupang, Kepala Dinas Sosial NTT Pieter Manuk menyatakan stok beras provinsi itu cukup untuk mengatasi rawan pangan dan kelaparan, masih 2.859 ton di luar cadangan gubernur 200 ton!" timpal Amir. "Dari situ terlihat, realitas kelaparan dan stok beras yang cukup—sekalipun dilabeli untuk mengatasi rawan pangan dan kelaparan—
adalah dua hal yang berbeda! Sebab, apalah arti stok cukup kalau tetap teronggok di gudang, padahal realitas kelaparan di lapangan sudah jalan dua tahun warga bertahan hidup dengan mencari umbi-umbian dari hutan!"
"Begitulah!" tukas Umar. "Kita angkat kelaparan di NTT akibat anomali iklim dengan kontroversinya stok pangan yang cukup karena di daerah kita juga banyak petani gagal panen akibat anomali iklim, persisnya nyaris separuh petani tanaman pangan provinsi ini yang masih bertanam di sawah tadah hujan! Diharapkan tentunya agar para pejabat daerah ini tak cuma puas nongkrong di tumpukan stok pangan, tapi selalu memonitor realitas kehidupan rakyat dan segera memberikan bantuan sebelum kelaparan melanda!"
"Sikap umara harus bisa seperti Umar bin Khatab yang mengamati langsung dapur warga tak sekadar asal mengebul—tapi dicari tahu mengebul itu memasak apa, Umar menemukan seorang ibu cuma merebus batu, sedang di NTT ternyata cuma merebus umbi-umbian dari hutan!" timpal Amir. "Soalnya, sudah 66 tahun meredeka masak ada pejabat yang bicara dan sikapnya tak nyambung dengan realitas penderitaan rakyatnya yang sedang dilanda bencana kelaparan!"
"Itu kata kuncinya, gejala rawan pangan atau kelaparan harus digolongkan bencana!" tegas Umar. "Itu justru resep dari Amartia Sen, penerima Nobel bidang ekonomi 1998 asal India, dengan melabeli kelaparan sebagai bencana dan pers memberi tekanan terhadap ancaman bahaya bencananya, bencana itu justru bisa dicegah sebelum terjadi! Itu ciri bangsa berbudaya—sebab inti budaya adalah memuliakan manusia!" ***
0 komentar:
Posting Komentar