SEORANG mahasiswi menemui bocah peringkat satu—terpintar—di kelas V SD. Di rumah geribik berlantai tanah itu, pulang sekolah si bocah langsung membuka tudung saji. Ia isi nasi sepiring penuh dengan sayur genjer dan ikan asin goreng, lalu melahapnya hingga ludes.
"Kok tak ada orang di rumah?" tanya tamu.
"Ayahku kerja kuli bangunan!" jawab bocah. "Ibu ke ladang, pergi pagi siap masak dan mencuci pakaian, pulang petang!"
"Pagi kau sarapan apa?" kejar tamu.
"Sarapan nasi, sama dengan yang dimakan siang dan malam nanti!" jawab bocah. "Usai salat subuh ibu masak sekalian untuk pagi, siang, dan malam!"
"Usai makan siang ngapain?" tanya tamu. "Mengerjakan PR, kalau ada! Mumpung terang! Kalau malam gelap, rumahnya tak ada listrik!" jawab bocah. "Kalau tak ada PR, pergi main!" "Main apa?" kejar tamu. "Main apa saja, ikut teman-teman!" jelas bocah.
"Kalau musim layang-layang, mengejar layangan putus! Main sesuai musimnya saja! Tentu tak lupa salat zuhur dan asar, dan mengaji bakda magrib bersama teman-teman! Umurku sudah lebih 10 tahun, kalau tak salat dipukul ayah!" Mahasiswi menghela napas, tak menemukan keistimewaan dari si bocah sebagai alasan ia bisa menjadi terpintar di antara teman sekelas. Salat dan mengaji juga bukan kelebihan dirinya, sebab juga dilakukan teman-temannya! Mahasiswi menemui guru kelasnya, cerita apa adanya, tak menemukan apa yang dia cari. "Saya juga memberi perhatian pada anak itu!" jelas guru.
"Dia mengingat lebih baik pelajaran yang saya berikan dibanding teman-temannya, terutama hal baru yang kemudian dirangkai dalam soal PR. Saya amati, itu bisa dia lakukan karena sikap bertanggung jawab dengan kesadaran atas keterbatasan dirinya!"
"Tanggung jawab dan kesadaran seperti apa?" kejar mahasiswi. "Tanggung jawab mengerjakan PR, seperti atas salatnya tanpa kontrol dari orang tuanya sekalipun!" jelas guru. "Menyadari rumahnya tak berlistrik, ia kerjakan PR sepulang sekolah! Saat itu, ingatan atas pelajaran di sekolah masih segar! Maka itu ia jadi lebih menguasai pelajaran baru karena langsung mengulangnya setiba di rumah! Sedang lainnya mengerjakan PR malam atau esok subuh, sudah tak segar lagi pelajaran baru yang diterimanya!" "Jadi ketiadaan listrik di rumahnya menjadikan dia anak terpintar?" entak mahasiswi. "Justru keterbatasan diubahnya jadi berkah!" ***