"PEMBAYARAN pokok dan bunga utang luar negeri yang jatuh tempo Triwulan IV 2013 sebesar 21,025 miliar dolar AS, menekan rupiah hingga kurs tengah BI Rp11.717 per dolar AS pada penutupan Jumat sore!" ujar Umar.
"Tekanan akan lebih berat kian dekat ke akhir tahun, karena swasta yang harus bayar utang lebih besar, 18,894 miliar dolar AS, dibanding pemerintah dan BI 2,131 miliar dolar AS! Swasta beli dolar untuk itu di pasar!" (Kompas, 22-11).
"Itu yang disebut tekanan nyata terhadap rupiah!" timpal Amir. "Setengah tahun terakhir rupiah lebih tertekan oleh isu rencana The Fed memangkas stimulus! Sehingga, pengurangan subsidi BBM yang logisnya memperkuat rupiah juga tak mengurangi laju pelemahan rupiah dari Rp9.700 per dolar AS pada 31 Desember 2012!
Jadi, rupiah terdepresiasi 2.000 poin sepanjang 2013, sedang Indeks Dow Jones, penerima advantage isu itu dengan modal pulang kandang, priode sama terapresiasi (naik) 22%!"
"Demikian nasib rupiah yang rentan pada pengaruh luar negeri! Isu stimulus saja diayun, kursnya rontok!" tegas Umar. "Hal itu terjadi karena ketergantungan ekonomi nasional pada dana kredit luar negeri, baik pemerintah maupun swasta! Sampai akhir Oktober 2013, total utang luar negeri kita 259.867 miliar dolar AS, atau dengan kurs Rp11.700 per dolar AS Rp3.040 triliun!
Utang pemerintah 123.210 miliar dolar AS dan swasta 136.660 miliar dolar AS."
"Peningkatan utang luar negeri swasta cukup pesat, dalam 5 tahun nyaris dua kali lipat dari 73,61 miliar dolar AS pada 2009!" timpal Amir. "Sedang utang pemerintah dalam priode sama naik 24%, dari 99,27 miliar dolar AS pada 2009.
Tapi apakah kenaikan utang pemerintah itu ada manfaat yang setara dinikmati rakyat, lain soal! Karena, yang penting bagaimana BI bisa mengendalikan kurs rupiah agar tidak tembus Rp12.000/dolar AS!"
"Artinya BI harus ketat mengontrol pasar dalam memenuhi pasokan dolar, agar spekulan tak leluasa bermain!" tegas Umar.
"Untuk itu kondisi BI cukup prima, dengan cadangan devisa akhir Oktober 2013 sebesar 97 miliar dolar AS, naik 1,3 miliar dolar AS dari 95,7 miliar dolar AS pada akhir September 2013."
"Ketatnya kendali BI atas kurs rupiah itu tak bisa ditawar, karena kalau tembus Rp12.000/dolar AS, selain mengulang realitas
Krismon 1998, juga beban hidup rakyat tambah berat oleh garam, kedelai dan kebutuhan lain sehari-hari mereka yang dipenuhi dari impor!" timpal Amir.
"Kalau mau jujur, yang harus jadi ukuran fundamental ekonomi Indonesia kini adalah yang serba impor itu!" ***
0 komentar:
Posting Komentar