Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Semua Rontok, Fundamental Baik!


"PARADOKS ekonomi Indonesia terletak pada retorika pengelolanya!" ujar Umar. 

"Ketika semua standar ekonomi kita rontok di pasar, kurs rupiah tembus melampaui Rp11.995/dolar AS dan IHSG sudah timbul-tenggelam di level 4.250, Gubernur BI dan Menteri Keuangan minta rakyat tetap tenang karena fundamental ekonomi kita baik! 

Di situ paradoksnya, fundamental ekonomi baik tapi nilai rupiah dan IHSG rontok terus!" "Paradoks tragis juga dialami Bursa Efek Indonesia! Bursa negeri lain selalu naik atau turun terbawa Wall Street, IHSG malah kebalikannya!" kata Amir

"Setelah pekan lalu Indeks Dow Jones mencatat kenaikan 22% sepanjang 2013, Rabu (27/11) Dow Jones dan S%P 500 mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah (Kompas.com, 28/11), IHSG justru menggenapi kerontokan nilainya jadi 15%, dari sebelumnya sempat di atas 5.000, hari itu tinggal 4.251." 

"Itu pun masih mendingan Gubernur BI mengungkap penyebab melemahnya rupiah, yakni besarnya kebutuhan dolar triwulan akhir tahun untuk repatriat penghasilan (transfer laba modal asing) serta buat membayar utang pokok dan bunga para pengusaha swasta—lebih 21 miliar dolar AS!" ujar Umar. 

"Tetapi Menteri Keuangan, malah berkilah masih menunggu kabar baik! Dan kabar baik itu ternyata pengumuman dari Badan Pusat Statistik (BPS) tentang angka inflasi yang diharapkan kecil, Januari sampai akhir November 2013 di bawah 9%!" "Menteri Keuangan menunggu kabar baik soal inflasi di bawah 9% itu lucu!" tukas Amir. 

"Sebab, dengan inflasi sampai akhir Oktober 2013 saja sudah mencapai 8,32%, kenyataannya sudah sangat memberatkan kehidupan rakyat banyak yang umumnya berpenghasilan kecil! Seperti keluarga buruh dengan UMP 2013 sebesar Rp1.150! Lagi pula, pengendalian inflasi secara formal kan domain BI?" "Begitulah paradoks, serbaterbalik!" timpal Umar. 

"Namun, paradoks pada kedua pejabat itu hanya bagian kecil dari paradoks ekonomi nasional kita secara keseluruhan, yang daftarnya bisa amat panjang! Itu dimulai dari Indonesia pemilik garis pantai terpanjang di dunia, tapi konsumsi garam rakyatnya lebih 90% dari impor! 

Lalu negeri agraris pemakan tempe terbesar di dunia ini, kedelainya harus impor, dan seterusnya!" "Karena segalanya sudah serbaparadoks, wajar retorika para pejabat dan politisinya juga paradoksal!" tegas Amir. "Apalagi, segalanya jadi serbaparadoks itu justru sebagai buah retorika pejabat dan politikus yang kebablasan jadi realitas!"

0 komentar: