"KABAR angin pembangunan jalan tol Sumatera Lampung—Aceh kian semilir sebagai proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)," ujar Umar. "Rakyat mendamba percepatan pembangunan jalan tol, lebih-lebih semua kelas jalan—jalan negara, provinsi, apalagi jalan kabupaten—kini rusak parah!"
"Percepatan pembangunan jalan tol di Sumatera mendesak sejalan pesatnya kemajuan ekonomi daerah!" timpal Amir. "Sekaligus menambah panjang jalan tol di negeri kita karena menurut Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Senin (Kompas.com, 24/3), sampai 2014, panjang jalan tol di Indonesia baru 918 km. Dua periode Presiden SBY, 2004—2014, hanya menambah jalan tol 300 km!"
"Panjang jalan tol Indonesia kalah dari Malaysia!" tukas Umar. "Menurut Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Achmad Gani Ghazali (Liputan6.com, 16/9/2013) jalan tol Malaysia 3.000 km. Konon lagi China, panjang jalan tolnya 60 ribu km!"
"Kalau selamban era SBY per tahun hanya membangun jalan tol 30 km, perlu waktu 100 tahun untuk menyamai Malaysia saat ini!" timpal Amir. "Konon lagi menyamai China, 60 ribu km bagi 30 km per tahun, perlu 2.000 tahun—dua milenium!"
"Karena itu, cara berpikir dan cara kerja seperti penguasa sekarang harus dibuang jauh jika kita ingin melakukan percepatan pembangunan di segala bidang!" tegas Umar. "Lebih-lebih dalam pembangunan jalan tol guna mengejar ketertinggalan dari tetangga dan negeri maju, pelajari saksama dan carikan jalan keluar. Tiga kendala yang disebut Achmad Gani Ghazali, yakni pembebasan tanah, pendanaan, dan teknis konstruksi!"
"Pembebasan tanah selama ini—untuk proyek apa saja, selalu menjadi konflik antara rakyat dengan pengelola proyek, mungkin paradigmanya yang lebih dahulu harus dibalik—dari ganti rugi menjadi ganti untung!" saran Amir. "Dengan ganti untung antipati terhadap proyek bisa dikurangi, lebih-lebih kalau hal itu bisa dibuktikan!"
"Lewat ganti rugi umumnya rakyat pemilik tanah terputus haknya justru setelah proyek jadi!" timpal Umar.
"Sementara ganti untung, bukan sekadar rasa turut memiliki (roso melu handarbeni), melainkan benar-benar memiliki dalam bentuk sejumlah saham senilai harga tanahnya—bisa sebagian diterima tunai! Dengan punya saham itu, ia menerima keuntungan ganda, dari gain (kenaikan harga saham) dan dividen (bagian laba tahunan). Ini hanya salah satu skema mengatasi soal tanah! Skema lain juga disiapkan untuk pendanaan dan konstruksi, hingga kendala sirna!" ***
0 komentar:
Posting Komentar