Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Relevan, Budaya Politik Partisipatif!


"MORATORIUM iklan politik di televisi yang berlaku 1 sampai 15 Maret 2014 tidak efektif!" ujar Umar. "Terbukti, aturan yang dibuat sepihak dengan SKB KPU, Bapilu, Komisi Penyiaran dan Komisi Informasi itu dilanggar beramai-ramai oleh partai politik peserta pemilu dan televisi!" 

 "Menurut data Komisi Penyiaran 1 sampai 11 Maret saja, Partai Golkar menayangkan 487 spot iklan, NasDem 378, Gerindra 305, PDIP 273, PKB 90, Hanura 80, PAN 67, PKPI 42, PKS 9, dan Demokrat 8!" timpal Amir. "Iklan tersebut ditayangkan di 11 televisi nasional!" (Kompas.com, 14/3)

Moratorium itu cedera dan gagal karena ditetapkan sepihak oleh gabungan komisi independen tanpa menyertakan para pelaku yang dituntut komitmennya untuk menjalankan aturan yang mereka buat tersebut!" tegas Umar. 

"Beda dengan deklarasi pemilu damai di Monas, Sabtu (15/3), yang dilakukan oleh para peserta pemilu untuk awal kampanye 16 Maret—5 April 2014, pelaksanaannya bisa diharap akan berjalan lebih baik!" "Perbedaan antara kedua event terletak pada akomodasinya terhadap budaya politik partisipasi, yang diutamakan dalam deklarasi pemilu damai!" timpal Amir. 

"Moratorium iklan politik cedera dan gagal akibat kekuasaan dijalankan sepihak tanpa menyertakan para pelaku yang justru dituntut komitmennya buat melaksanakan aturan yang dibuat! Bisa saja pihak yang merasa paling berkuasa tetap memproses pelanggaran itu, tapi selain langkah itu secara hukum belum tentu berhasil seperti dikatakan Effendi Gozali dari UI, juga mengganggu proses pemilu yang justru memasuki tahapan utamanya!" 

 "Jadi, perlu diingat oleh siapa pun yang mendapat kekuasaan atas nama apa pun dan dalam bentuk apa pun, harus mampu berinteraksi dengan para aktor yang dituntut memerankan skenario buatannya di panggung kehidupan nyata!" tegas Umar. 

 "Begitulah relevansi budaya politik partisipatif dalam masyarakat kita! Itu berlaku di semua tingkat struktur sosial, interaksi dari ajakan persuasif sampai mobilisasi diasumsikan sebagai tindakan ngewongke—menghargai orang sebagai manusia—yang ternyata amat diperlukan oleh warga masyarakat sampai strata terbawah sekalipun!" 

 "Sebaliknya orang yang gemarnya hanya mengacung-acungkan kekuasaan miliknya untuk dipatuhi pihak lain dan kalau tak mau taat dia gebuk, terkesan kuat cara itu berbau premanisme!" tukas Amir. "Tentu susah, bahkan bisa sesat, kalau cara-cara premanisme dipakai untuk mengelola kehidupan bernegara-bangsa!" ***

0 komentar: