"SUBSIDI bahan bakar minyak (BBM) setiap tahun mengakibatkan APBN defisit, hingga harus ditutupi dengan utang lewat lelang obligasi surat utang negara (SUN) yang bunganya bersaing di pasar!" ujar Umar.
"Akibat subsidi BBM yang berlarut, utang pemerintah selama SBY berkuasa naik nyaris dua kali lipat, dari Rp1.299,5 triliun pada 2004 menjadi Rp2.500,494 triliun pada Juli 2014. Dalam lima tahun terkakhir naiknya rata-rata nyaris Rp200 triliun/tahun, dari Rp1.590,66 pada 2009." (detik-finance, 22/8)
"Laju peningkatan utang itu menunjukkan makin lama justru makin berat anak-cucu bangsa menanggung beban utang akibat subsidi BBM!" tegas Amir. "Sekarang saja beban itu sudah tampak berat, sebab pembayaran utang pemerintah pada APBN sudah dua kali lipat dari utang baru! Bayar pokok utang dan bunga untuk Januari—Juni 2014 dari APBN sebesar Rp223,004 triliun, setahun sekitar dua kalinya!"
"Kenaikan subsidi BBM dari waktu ke waktu semakin drastis pula!" timpal Umar. "Seperti pada APBN 2014 sebesar Rp210,7 triliun, pada APBNP 2014 dinaikkan jadi Rp246,5 triliun—naik 35,8 triliun! Jadi, untuk bayar utang dan subsidi BBM 2014 sekitar Rp650 triliun, sehingga dana untuk pembangunan yang penting bagi rakyat, seperti infrastruktur, semakin terbatas!"
"Padahal, 70% penikmat subsidi BBM itu kelas menengah ke atas, pemilik mobil umumnya!" tegas Amir. "Jadi, saatnya tiba untuk mengoreksi kesalahan menumpuk utang untuk dibebankan pada anak-cucu itu!
Perlu cara lain menyalurkan subsidi agar bisa benar-benar diterima mayoritas rakyat miskin yang berhak."
"Subsidi BBM itu melanjutkan kebijakan Orde Baru, yang pada era itu produksi BBM kita 1,5 juta barel/hari dengan konsumsi 800 ribu barel/hari, sisanya diekspor dengan harga antara 15—20 dolar AS/barel!" tutur Umar.
"Sekarang, produksi BBM kita 800 ribu barel/hari, konsumsinya 1,5 juta barel/hari, sehingga harus impor 700 ribu barel/hari dengan harga 90—105 dolar AS/barel atau Rp11.500/liter—jadi subsidinya Rp5.000/liter!"
"Dari bandingan kebijakan antarwaktu tampak tak wajar lagi kita menerapkan subsidi BBM yang menjadi beban amat berat APBN, sekaligus beban berat anak-cucu kita membayar utang yang kita gunakan untuk foya-foya kelas menengah ke atas!" timpal Amir.
"Kemauan meninjau kembali subsidi BBM menjadi cerminan sikap bijaksana para pemimpin nasional dewasa ini! Bijaksana, karena tidak membebankan biaya foya-foya kakek-nenek menjadi utang anak-cucunya!" ***
0 komentar:
Posting Komentar