RPJMN—Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional—2015—2019 disetujui dalam rapat Kabinet Kerja, Rabu (7/1). Intinya, peningkatan kualitas manusia sebagai tujuan utama pembangunan. Sementara pembangunan infrastruktur dan beragam langkah operasional lain adalah alat, bukan tujuan. (Kompas, 8/1)
Untuk itu, membangun manusia dan masyarakat menjadi strategi pada poin pertama dari empat poin yang ada.
Poin kedua strategi peningkatan kesejahteraan, kemakmuran, dan produktivitas dengan mencegah melebarnya ketimpangan.
Usaha mencegah itu dilakukan lewat poin ketiga, memberi perhatian khusus pada peningkatan produktivitas rakyat lapisan menengah-bawah. Sedang poin keempat, pembangunan tidak boleh merusak, menurunkan daya dukung lingkungan, mengganggu keseimbangan ekosistem.
Dalam mencapai tujuan itu, ditetapkan target-target indikator peningkatan kualitas manusia. Indeks pembangunan manusia (IPM), dari 73,83 pada 2014 menjadi 76,3 pada 2019. Di tingkat dunia, IPM 76 ke atas itu batasan di atas peringkat 100. Peringkat IPM Indonesia pada 2013 masih 111.
Namun, target itu cukup realistis karena lima provinsi—Riau, DKI Jakarta, Yogyakarta, Kaltim, dan Sulut—pada 2013 IPM-nya sudah di atas 77.
Lampung yang IPM-nya terendah di Sumatera (72,87 pada 2013) perlu bantuan khusus untuk mendukung IPM nasional.
Untuk meningkatkan IPM, pendidikan dan kesehatan kuncinya. Karena itu, target peserta Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dari 51,8% pada Oktober 2014, jadi 95% pada 2019. Juga SJSN
Ketenagakerjaan, untuk pekerja formal dari 29,5 juta pada 2014, menjadi 62,4 juta pada 2019. Sedang pekerja informal, dari 1,3 juta pada 2014 jadi 3,5 juta pada 2019.
Namun, dalam pembangunan manusia harus disadari semua itu hanya angka-angka kuantitatif. Diidealkan, di balik angka-angka itu esensinya sesuai.
Paradoks di balik angka kuantitatif bukan mustahil. Seperti pertumbuhan ekonomi tinggi yang justru memperlebar jarak ketimpangan. Sebab, pertumbuhan hanya dinikmati elite, sedang rakyat tertindas justru tambah sengsara.
Paradoks dalam IPM bisa terjadi dengan masa belajar panjang, tapi pendidikannya tak berkualitas! Akibatnya, tambah lama belajar malah tambah bodoh!
Juga jaminan sosial dengan layanan rumah sakit daerah yang buruk, semakin tinggi angka peserta, kian buruk layanannya!
Artinya, dalam mengejar target angka-angka, peningkatan kualitasnya dalam semua hal tetap harus diprioritaskan! ***
0 komentar:
Posting Komentar