MESKI awal pekan lalu rupiah menguat hingga tembus ke bawah Rp13 ribu/dolar AS karena menurut Deputi Direktur Asian Development Bank (ADB) Indonesia Edimon Ginting The Fed tidak akan membiarkan dolar menguat selamanya (Kompas.com, 25/3), pada penutupan Jumat sore (27/3) rupiah melemah kembali tembus Rp13 ribu jadi Rp13.064/dolar akibat berita harga BBM naik tengah malam itu (Kompas.com, 27/3).
Menurut Edimon, selain faktor luar The Fed yang menjadi ketergantungan kurs rupiah, faktor dalam negeri penentunya adalah current account deficit (CAD). Dengan Indonesia sebagai net importer BBM, peningkatan nilai impor BBM itu secara langsung berimbas ke CAD, dengan pukulannya telak ke kurs rupiah.
Sebenarnya, pemerintah telah merilis enam paket kebijakan untuk menurunkan CAD, antara lain menyuntik biofuel sebesar 15% ke dalam konsumsi solar. Tapi, selain harga biofuel tak lebih murah dari solar impor, aturan pelaksanaan administratif enam kebijakan itu juga belum selesai dibuat, kebijakan menaikkan harga BBM malah sudah keburu dilakukan!
Akibatnya, seiring kembali jebloknya kurs rupiah ke dolar AS, harga barang-barang kebutuhan pokok pun keburu tertarik naik mengikuti harga BBM. Jadi, rangkaian waktu pengambilan kebijakan juga kurang diperhatikan, sehingga ketika kurs rupiah mendapat angin baik dari faktor eksternal, justru digilas faktor internal—kebijakan pemerintah sendiri.
Masalah ini sering terbentur pada anomali deflasi yang diacungkan pemerintah untuk menjustifikasi kebijakannya yang secara nyata menyengsarakan rakyat. Seperti pada Januari—Februari 2015, ketika rakyat menjerit tercekik harga kebutuhan pokok mereka yang meroket, beras medium dari Rp8.000/kg naik jadi lebih Rp11 ribu/kg, demikian juga gula, minyak goreng, gas, dan sebagainya, pemerintah dengan santai menenggelamkan keluhan rakyat itu dengan data deflasi.
Padahal, deflasi itu terjadi turunnya harga barang-barang yang tak dibutuhkan rakyat, sedang harga barang kebutuhan pokok sudah tak terjangkau oleh rakyat!
Demikian pula dengan ekses kenaikan harga BBM terakhir ini, imbasnya kepada kesulitan rakyat akan secara mudah ditepis dengan 'data akumulatif' yang membuat keluhan rakyat jelata jadi tak relevan!
Tapi memang selalu begitu nasib rakyat jelata, penderitaannya yang paling pedih pun amat mudah dimentahkan dengan retorika politik didasarkan data yang sejak awal disusun berorientasi pada kepentingan elite! ***
0 komentar:
Posting Komentar