MENDAGRI Tjahjo Kumolo melontar ide agar negara menyantuni setiap partai politik (parpol) yang lolos electoral threshold sebesar Rp1 triliun/tahun dari APBN. Santunan dimaksud sebagai peningkatan dari santunan yang telah diberikan kepada parpol selama ini, Rp108 per suara pemilih per tahun.
Dengan Rp108/suara pemilih itu, PDIP yang saat Pemilu Legislatif April 2014 mendapat suara 23.681.471 suara berarti menerima santunan dari negara Rp2.557.598.868/tahun. Jika ditingkatkan menjadi Rp1 triliun, meningkat nyaris 40 kali lipat.
Konon lagi parpol yang dapat suara jauh lebih rendah dari PDIP, semisal Hanura dengan 6.579.498 suara dapat santunan Rp710.585.784 per tahun, jika dinaikkan menjadi Rp1 triliun berarti nak lebih dari 100 kali lipat.
Menurut Tjahjo Kumolo, wacana santunan parpol sebesar Rp1 triliun yang bersumber dari APBN itu perlu dukungan dan dipikirkan oleh DPR serta elemen masyarakat prodemokrasi. Tujuannya, tegas Tjahjo, untuk meningkatkan transparansi dan demokrasi.
"Political will ini perlu karena parpol merupakan rekrutmen kepemimpinan nasional dalam negara yang demokratis. Akan tetapi, persyaratan kontrol terhadap partai harus ketat dan transparan," tegas Tjahjo dalam keterangan tertulis. (Kompas.com, 8/3)
Tentu saja kalangan parpol menyambut baik wacana tersebut. Seperti Ketua DPR Setya Novanto, yang wakil ketua umum DPP Partai Golkar, mendukung wacana negara menyantuni parpol Rp1 triliun setahun itu.
Hanya, ia imbuhi basa-basi dengan mengingatkan jangan sampai dana yang dipakai untuk membiayai parpol itu justru memberatkan rakyat.
Basa-basi Setya Novanto itulah yang perlu dikritisi kalangan parpol, terutama DPR. Misalnya dikaitkan Pasal 34 UUD 1945 tentang fakir miskin dan anak telantar disantuni oleh negara, hingga saat ini belum terlaksana dengan baik.
Artinya, sebelum santunan buat fakir miskin dan anak telantar berjalan baik, sangat kurang tepat mendahulukan santunan untuk parpol dalam jumlah yang puluhan kali lipat dari santunan yang telah diberikan, dibanding santunan pada fakir miskin dan anak telantar, dan warga di bawah garis kemiskinan, yang belum jelas juntrungnya!
Mengenai rekrutmen kepemimpinan nasional, meski konstitusi memang telah mematok jalurnya hanya lewat parpol, tetap saja pemimpin yang lahir dari amanat penderitaan rakyat akan lebih baik dari pemimpin yang tergantung pada santunan negara! ***
0 komentar:
Posting Komentar