PENYAIR Taufik Ismail membaca puisi di televisi: Koruptor di Negeri China dipotong kepalanya. Di Arab dipotong tangannya. Di Indonesia dipotong masa hukumannya!
Puisi itu melukiskan penguasa Indonesia paling memanjakan koruptor.
Realitasnya, penjara khusus dibuatkan untuk koruptor di Jakarta. Atau mau sejuk, di Bandung.
Pemanjaan dengan pemotongan masa hukuman atau remisi dan pembebasan bersyarat sebenarnya sudah dibatasi oleh PP No. 99/2012, yang menyatakan untuk narapidana korupsi dapat diberi remisi dengan syarat turut membantu penegak hukum membongkar kejahatannya (jadi whistle blower) dan telah membayar lunas uang pengganti serta denda sesuai perintah pengadilan.
Tapi, penguasa kini melalui Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly tak setuju aturan tersebut dan menilai PP itu diskriminatif. Ia berwacana mengubah persyaratan pemberian remisi terpidana koruptor, lebih-lebih terkait pemberian remisi itu harus atas persetujuan KPK dan kejaksaan selaku penyidik dan penuntut. (kompas.com, 13/3)
Menurut Yasonna, semua narapidana punya hak, yaitu pembebasan bersyarat, pendidikan, dan pelayanan. Filosofi pembinaan, tidak lagi pembalasan maupun pencegahan melakukan perbaikan tindakan sehingga bila seseorang sudah dinyatakan bersalah dan diputus pidana, selesailah fungsi penghukuman dan beralih ke fungsi rehabilitasi atau pembinaan.
Pemberian remisi sendiri sudah diatur dalam UU No. 12/1995.
Namun, menurut mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, hukuman bagi pelaku koruptor perlu dilakukan secara diskriminatif positif. "Fakta menunjukkan terdapatnya jenis kejahatan khusus, misalnya terorisme dan korupsi.
Untuk kejahatan ini justru perlu didiskriminasi sebagai bentuk diskriminasi positif," kata dia.
Sifat, karakter, dan dampak kejahatan korupsi yang semakin memakan korban pembunuhan pelan-pelan terhadap rakyat dan lumpuhnya fungsi lembaga-lembaga negara, justru tidak mencerminkan nalar keadilan jika disamakan dengan pelaku kejahatan umum, jelas Busyro.
Artinya, pemidanaan bagi pelaku korupsi adalah wajar. Teori pemidanaan diskriminasi adalah wajar, sebab itu aneh jika pemerintah berkomitmen memberantas korupsi tapi tetap permisif dalam mengobral remisi untuk koruptor sebagai penjahat besar.
Menyamakan hak koruptor sebagai pelaku kejahatan luar biasa dengan pidana biasa tentu aneh, karena efek jeranya tidak memadai. Tapi kalau pemanjaan koruptor memang kebijakan penguasa, sepaket dengan pelemahan KPK, mau apa? ***
0 komentar:
Posting Komentar