Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Reforma Agraria 9 Juta Hektare!

PEMERINTAHAN Jokowi-JK sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) implementasi program Nawacita versi Bappenas, akan membagikan lahan seluas 9 juta hektare kepada 4,5 juta kepala keluarga (KK) petani marginal. (agroindonesia,co.id, 10/3) 

Untuk itu, dosen Fakultas Kehutanan IPB yang juga Ketua Forest Watch Indonesia Togu Manurung kepada Kompas.com (12/3) mengingatkan agar bencana ekologis seperti kegagalan membuka sawah sejuta hektare di lahan gambut tidak terulang, pemerintah perlu memberi keterbukaan informasi terkait lokasi wilayah, status, dan kondisi 9 juta hektare yang akan dijadikan lahan pertanian itu.

Menurut Togu, pembukaan lahan itu harus memperhatikan peta kesesuaian lahan agar sektor pertanian yang ditargetkan dalam program ketahanan pangan bisa dilakukan secara optimal. Ia mengharapkan pemerintah memperhatikan lokasi sebaran petani marginal. 

Tujuannya agar pembukaan lahan bisa maksimal penggunaanya oleh petani guram dan tunakisma (petani penggarap lahan orang lain dengan bagi hasil). Meski mayoritas petani marginal di Jawa, menurut Togu, tidak harus memindahkan mereka semua ke luar Jawa. 

Sebab, di Jawa sendiri masih banyak lahan tidur yang bisa dimanfaatkan. Reforma agraria atau istilah kunonya landreform, selain merupakan perintah UU Pokok Agraria No. 5/1960, juga menjadi jalan keluar mengatasi laju gejala petani marginal kehilangan lahan pertaniannya. 

Sensus Pertanian 2013 mencatat, dalam 10 tahun (2003—2013) sebanyak 5,04 juta petani pemilik lahan di bawah 0,1 ha kehilangan lahan miliknya. Sebanyak 6,1 juta rumah tangga petani (RTP) di Pulau Jawa dan 5 juta RTP di luar Jawa tidak memiliki lahan. 

Tampak betapa relevan program reforma agraria segera dilakukan. Jika dalam era Jokowi-JK ini bisa 4,5 juta RTP mendapat lahan masing-masing 2 hektare, selain laju kehilangan lahan pada petani marginal dan peningkatan jumlah petani marginal bisa ditahan, laju ketimpangan sosial juga diharapkan bisa ditekan. 

Indeks rasio gini yang memburuk tajam, dari 0,35 (2008) menjadi 0,41 (2013), harus dibendung karena jika indeks gini 0,45 bisa jadi momentum rawan tersulut ledakan sosial. Tahap awal pilihannya soft-landreform, bagi-bagi lahan eks HPH hutan produksi yang tak bermasalah. 

Sebab, jika hard-landreform seperti Meksiko, lahannya hasil rampasan milik tuan tanah—di sini bisa menyulut konflik politik serius! ***

0 komentar: