DENGAN gaya diplomasi kagok dan kaku, Pemerintah Indonesia unjuk kekuatan terhadap terpidana mati warga negara lain, menolak semua permohonan grasi kasus narkoba, termasuk yang belum diajukan, berkesan kurang menghormati permohonan keringanan pemerintah negara lain untuk warganya yang akan dieksekusi mati, bagaimana nasib 229 WNI terpidana mati di negara lain, 131 di antaranya kasus narkoba?
Pemerintah berkewajiban melindungi dan membela setiap warga negaranya di mana pun ia berada, berusaha membebaskan dari pidana mati. Namun, dengan cara bagaimana Pemerintah Indonesia akan melakukannya, jika dirinya sendiri unjuk kekuatan dengan diplomasi kaku atas permohonan pemerintah negara lain?
Nasib WNI terpidana mati di luar negeri akibat gaya begitu bisa lebih buruk. Itu yang dicemaskan peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu ketika Pemerintah Indonesia tidak sadar bahwa 229 warga negara Indonesia saat ini terancam dieksekusi mati di negara lain. (Kompas.com, 9/3)
Saat Indonesia unjuk kekuatan terhadap terpidana mati, apa yang nantinya bisa dikatakan Pemerintah Indonesia saat melakukan pembelaan terhadap 229 warganya yang terpidana mati itu, tukas Erasmus.
Pemerintah harus menjelaskan bagaimana menyelamatkan WNI yang akan dihukum mati di luar negeri. Kita keras pada terpidana mati, kenapa kita minta pemerintah asing agar lunak?
Selain itu, Erasmus menyoroti pembatasan jumlah pengajuan peninjauan kembali (PK) tak boleh lebih dari satu kali yang diatur dalam Surat Edaran MA No. 7/2014.
Itu membatasi hak warga negara untuk memperoleh keadilan. Fair trial tidak dijamin di Indonesia. Bagaimana kita menuntut fair trial bagi WNI dari negara lain, padahal kita sendiri tidak bisa memberinya di negeri sendiri?
Dari jumlah WNI terpidana mati di luar negeri yang jauh lebih besar dibanding WNA terpidana mati di negeri kita, kita dituntut lebih luwes dan bersikap dewasa dalam berdiplomasi, menyesuaikan diri dalam pergaulan antarbangsa!
Tidak pada tempatnya, misalnya, menuding tindakan Presiden Brasil untuk memulihkan popularitasnya yang sedang turun, padahal Brasil memang antihukuman mati sejak negaranya merdeka tahun 1889.
Bahwa kita menganut sistem hukuman mati itu kenyataan, tapi tak perlu diberi gaya diplomasi yang kurang pas! Sejak Konferensi Asia-Afrika dan New Emerging Forces (Nefos), Indonesia selalu menjadi teladan dalam berdiplomasi! ***
0 komentar:
Posting Komentar