Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Blunder Kebijakan Daging Sapi!

JUDUL Blunder Kebijakan Daging Sapi dipinjam dari Kompas.com (11/8), yang menyebut kenaikan harga daging sapi juga memicu sentimen negatif semakin terpuruknya kurs rupiah kemarin.Dampak ke inflasi mungkin tidak besar, tulis Kompas.com, tetapi blunder kebijakan bisa menambah perspektif buruk terhadap pemerintah. Blunder kebijakan dimaksud mungkin alokasi impor sapi bakalan triwulan III 2015 yang dibatasi hanya 50 ribu ekor.

 Padahal, menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) Joni Liano, kebutuhan sapi bakalan untuk Jabodetabek, Banten, dan Jawa Barat, 60 ribu ekor per bulan. Normalnya seperti triwulan II 2015, impor sapi bakalan 200 ribu ekor. (detik-Finance, 10/8) Blunder kebijakan terlihat membatasi impor sapi bakalan untuk tiga bulan kurang dari kebutuhan satu bulan. Jelas, pasokan sangat terbatas untuk permintaan jauh lebih besar, harga melonjak.

 Malangnya, blunder kebijakan itu mengulang blunder yang sama beberapa tahun lalu, yang membuat harga daging sapi melonjak dari harga standar yang stabil Rp40 ribu/kg menjadi sekitar Rp100 ribu/kg. Waktu itu, blundernya membatasi impor sapi bakalan 50% dari alokasi normalnya. Celakanya, kemahalan harga daging sapi akibat blunder kebijakan lama belum bisa dikembalikan ke harga normal sesuai biaya produksinya—sekitar Rp35 ribu/kg timbang hidup—blunder sama diulang bahkan dengan pembatasan jumlah impor sapi bakalan yang lebih kecil lagi. Lebih buruknya, blunder kebijakan rupanya menghasilkan dampak yang lebih buruk pula.

 Para penjual daging di pasar yang pada blunder pertama masih bertahan jualan meski omzet dan labanya turun drastis, kali ini tak mampu lagi menahan kekesalannya. Para penjual daging di pasar-pasar Lampung, Jakarta, Bandung, Bogor, dan kota-kota lain mogok jualan. Pemerintah boleh saja unjuk kebolehan untuk mengatasi krisis dengan operasi pasar dan menugasi Bulog untuk impor sapi siap potong 50 ribu ekor. Namun, semua itu mencerminkan situasi dan kondisi yang tidak normal, tidak stabil, alias labil.

 Kecenderungan menyukai yang labil atau labilisme pada pemerintahan terakhir dengan tindakan ujuk-ujuk—menghentikan impor jagung, membatasi impor sapi, membekukan PSSI dan lain-lain—harus diakhiri. Karena itu, anomali sistem pemerintahan negeri mana pun yang harus berorientasi pada stabilitas untuk mewujudkan pertumbuhan, kemajuan, dan ketenteraman hidup rakyat. Labilitas lebih dekat dengan kekacauan! ***

0 komentar: