NILAI tukar rupiah terhadap dolar AS sejak awal 2015 dalam catatan Bank Indonesia (BI) sudah mengalami penurunan 8,5%, bahkan telah tertekan lebih dari 30% sejak 2013.Menurut Dewan Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, kini nilai tukar rupiah sudah undervalued. (Kompas.com, 12/8)
Undervalued atau sudah di bawah nilai efektif yang sebenarnya itu diukur dengan indeks real effective rate (RER), yang merupakan pengukur daya saing mata uang. Pada indeks RER, posisi rupiah sudah di bawah 90.
Dengan posisi demikian rendah di indeks RER, Indonesia, menurut Mirza, tidak perlu ikut mendevaluasi rupiah untuk meningkatkan daya saing produk ekspornya, seperti Tiongkok yang mendevaluasi yuan terhadap dolar AS, Selasa (11/8).
Memang, Indonesia tidak perlu mendevaluasi nilai rupiah yang sudah undervalued itu. Imbas devaluasi yuan itu pada rupiah bisa lebih telak. Buktinya, setelah Selasa petang rupiah tembus Rp13.600/dolar AS, imbas devaluasi yuan itu berlanjut Rabu pagi dengan membuat rupiah tembus Rp13.800/dolar AS.
Lebih parah lagi imbasnya pada IHSG, pada penutupan Selasa sore terpangkas 2,6%.
Kondisi rupiah undervalued hingga nilainya terburuk sepanjang 17 tahun yang mencerminkan buruknya kondisi pelemahan ekonomi nasional itu, seolah disepakati akibat buruknya kinerja pemerintah. Untuk itu, jalan keluar yang diambil adalah dengan melakukan perombakan kabinet. Tak kepalang, tiga dari empat menteri koordinator (menko) dalam Kabinet Kerja pemerintahan Jokowi-JK diganti sekaligus.
Terkesan ketiga menko baru itu, yaitu Darmin Nasution, Rizal Ramli, dan Luhut Panjaitan, diunggulkan untuk mengatasi semua masalah yang berkecamuk di balik realitas terpuruknya rupiah. Darmin Nasution, misalnya, sebagai mantan Gubernur BI terkenal amat tenang dalam bertindak tetapi progresif kebijakannya. Salah satu contoh kebijakannya yang progresif adalah penetapan suku bunga acuan BI pada tataran 5%, sekarang 7,5%.
Langkah progresif memang diperlukan untuk keluar dari kondisi terpuruk akibat blunder-blunder kebijakan selama ini.
Sebaliknya, hanya dengan langkah progresif itulah penyebab pelambatan di dalam negeri bisa cepat diurai, dan kembali on the track memacu pertumbuhan sesuai ambisi awal pemerintahan Jokowi-JK, setelah jeblok di kuartal I hanya tumbuh 4,7% dan kuartal II turun jadi 4,67%.
Posisi rupiah yang terpuruk sampai undervalued perlu dasar optimisme baru untuk rebound. Perombakan kabinet diharapkan bisa menjadi dasar yang tepat untuk itu. ***
0 komentar:
Posting Komentar