SEPANJANG pekan ini publik menyaksikan acara pendaftaran calon kepala daerah untuk 269 kabupaten dan kota.Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memastikan calon-calon yang memenuhi syarat administratif untuk dipilih rakyat pada 9 Desember 2015.
Namun, kecukupan syarat administratif itu bukan jaminan calon-calon yang lolos seleksi KPU bisa atau mampu mengaktualisasikan diri sebagai kepala daerah yang ideal, dambaan rakyat pemilih.
Pengalaman menunjukkan rakyat sering salah pilih kepala daerah.
Itu diketahui dari kenyataan, jalan-jalan di daerahnya yang semula mulus selama kepemimpinannya malah jadi rusak, bahkan hancur jadi kubangan di mana-mana. Perekonomian rakyat mundur, orang sulit mendapatkan pekerjaan, keamanan jadi rawan bahkan masyarakatnya cenderung stres hingga mudah marah. Masalah sepele saja bisa menyulut perang antarkampung, bakar-bakaran!
Artinya, justru pemilukada jadi kesempatan bagi rakyat untuk memastikan calon kepala daerah yang ideal.
Terutama untuk daerah yang punya pengalaman buruk sedemikian rupa, agar tak terulang.
Lantas, calon kepala daerah seperti apa yang bisa dikategorikan ideal? Ciri pertama, yang punya kapasitas sebagai pemimpin. Ia mampu memimpin pemerintahan untuk memberikan pelayanan optimal terhadap sebuah kabupaten atau kota berpenduduk ratusan ribu orang yang beraneka latar belakang dengan segala hajat sosial maupun budayanya.
Untuk itu, kapasitas memimpin saja tidak cukup, tapi harus dilandasi sikap mulia, yakni tulus untuk sepenuhnya mengabdi pada kepentingan rakyat dengan menonjolkan sifat jujur dan berusaha seadil mungkin.
Dengan berorientasikan sikap mulia itu, tentu sekaligus menjauhi motivasi bisnis, dalam arti berorientasi mencari keuntungan materi semata dengan kekuasaannya. Untuk motif bisnis itu, pada tahap awal dia golek jujul—mencari kelebihan dari pengembalian dana yang dihabiskannya untuk memenangi pemilukada.
Tahap selanjutnya, melakukan eksplorasi dan eksploitasi terhadap kekuasaannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran keluarga, kerabat, dan kroninya, sembari menghimpun tabungan sebanyak-banyaknya untuk melestarikan kekuasaan dan membangun dinasti. Kalau akibat tindakannya itu infrastruktur, fasum dan fasos di daerahnya hancur hingga ekonomi rakyat merosot dengan segala konsekuensi lanjutannya, itu bukan urusannya!
Tapi masalahnya, apakah rakyat punya pilihan untuk itu, terutama hasil kaderisasi pemimpin yang dilakukan parpol? ***
0 komentar:
Posting Komentar