PEROMBAKAN (reshuffle) Kabinet Kerja, Rabu (12/8), gagal menyelamatkan kejatuhan indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEI) yang justru tembus ke bawah garis psikologis 4.500.
Hari itu IHSG ditutup melemah 3,09% atau 143,1 poin di posisi 4.479,49. Sehari sebelumnya, IHSG ditutup melemah 2,66% atau 126,36 poin di posisi 4.622,59. Kemerosotan IHSG ini antara lain terimbas oleh devaluasi mata uang yuan 1,86% oleh People Bank of China (PBOC) Selasa (11/8).
Tampak, hanya gonta-ganti pejabat saja di kabinet tak ada artinya bagi pasar. Tetapi, mungkin kebijakan efektif yang dibuat oleh pejabat itulah nantinya yang bisa memengaruhi pasar. Pasar beroperasi dengan hukum dan mekanismenya sendiri. Suatu kebijakan tidak bisa menggantikan sistemnya untuk menggerakkan pasar mencapai tujuan pembuat kebijakan. Suatu kebijakan hanya akan berpengaruh terhadap pasar sebatas sebagai sentimen, baik itu positif maupun negatif.
Kesalahan persepsi bahwa pasar bisa diubah hukum dan mekanismenya oleh kebijakan dan ditundukkan pada kemauan pemerintah, hanya membuat kebijakan salah arah dengan hasil kontroversial. Sebaliknya, kebijakan harus nyambung dengan hukum dan mekanisme pasar untuk berpengaruh efektif dalam arti bisa menggunakan hukum dan mekanisme pasar untuk mencapai tujuan kebijakan. Jika sampai salah sambung antara kebijakan dan sistem pasar, pasar tetap bekerja sendiri tanpa terpengaruh oleh kebijakan, apalagi mencapai tujuannya.
Masalahnya, kenapa kehadiran tokoh-tokoh baru yang kuat dalam kabinet pemerintahan kita kemarin tak direspons pasar, setidaknya mengurangi laju kemerosotannya saja pun tidak? Tetapi, merosotnya malah lebih dalam, 3,09% dari 2,66% hari sebelumnya. Di lain sisi, devaluasi yuan hanya 1,86% di negeri Tiongkok yang jauh, imbasnya malah telak memukul IHSG. Atau juga, rencana The Fed menaikkan suku bunga acuan yang tak kunjung jadi kenyataan, tak henti menekan IHSG maupun menggerus nilai tukar rupiah.
Hal itu terjadi karena tidak ada kebijakan domestik yang betul-betul kuat sebagai sentimen positif hingga mampu menjadi jangkar untuk menahan bursa lokal tidak mudah terombang-ambing oleh tarikan masalah remeh-temeh dari luar. Lebih penting lagi, ada suatu kebijakan yang bersifat mendasar hingga tercipta iklim kondusif yang permanen. Tak mudah memang menciptakan iklim kondusif yang permanen itu. Tapi harapan seperti apa lagi yang layak ditumpukan ke tokoh sekelas Darmin Nasution dan Rizal Ramli? ***
Tampak, hanya gonta-ganti pejabat saja di kabinet tak ada artinya bagi pasar. Tetapi, mungkin kebijakan efektif yang dibuat oleh pejabat itulah nantinya yang bisa memengaruhi pasar. Pasar beroperasi dengan hukum dan mekanismenya sendiri. Suatu kebijakan tidak bisa menggantikan sistemnya untuk menggerakkan pasar mencapai tujuan pembuat kebijakan. Suatu kebijakan hanya akan berpengaruh terhadap pasar sebatas sebagai sentimen, baik itu positif maupun negatif.
Kesalahan persepsi bahwa pasar bisa diubah hukum dan mekanismenya oleh kebijakan dan ditundukkan pada kemauan pemerintah, hanya membuat kebijakan salah arah dengan hasil kontroversial. Sebaliknya, kebijakan harus nyambung dengan hukum dan mekanisme pasar untuk berpengaruh efektif dalam arti bisa menggunakan hukum dan mekanisme pasar untuk mencapai tujuan kebijakan. Jika sampai salah sambung antara kebijakan dan sistem pasar, pasar tetap bekerja sendiri tanpa terpengaruh oleh kebijakan, apalagi mencapai tujuannya.
Masalahnya, kenapa kehadiran tokoh-tokoh baru yang kuat dalam kabinet pemerintahan kita kemarin tak direspons pasar, setidaknya mengurangi laju kemerosotannya saja pun tidak? Tetapi, merosotnya malah lebih dalam, 3,09% dari 2,66% hari sebelumnya. Di lain sisi, devaluasi yuan hanya 1,86% di negeri Tiongkok yang jauh, imbasnya malah telak memukul IHSG. Atau juga, rencana The Fed menaikkan suku bunga acuan yang tak kunjung jadi kenyataan, tak henti menekan IHSG maupun menggerus nilai tukar rupiah.
Hal itu terjadi karena tidak ada kebijakan domestik yang betul-betul kuat sebagai sentimen positif hingga mampu menjadi jangkar untuk menahan bursa lokal tidak mudah terombang-ambing oleh tarikan masalah remeh-temeh dari luar. Lebih penting lagi, ada suatu kebijakan yang bersifat mendasar hingga tercipta iklim kondusif yang permanen. Tak mudah memang menciptakan iklim kondusif yang permanen itu. Tapi harapan seperti apa lagi yang layak ditumpukan ke tokoh sekelas Darmin Nasution dan Rizal Ramli? ***
0 komentar:
Posting Komentar