DIBANDING kondisi bangsa saat merdeka 70 tahun lalu, kehidupan bangsa kita dewasa ini tentu sudah banyak kemajuan. Tapi, dilihat dengan kacamata universal, seperti indeks pembangunan manusia (IPM), dengan peringkat 108 kita masuk terbelakang.Realitas itu tak jauh beda jika dilihat lewat cita-cita kemerdekaan untuk mewujudkan masyarakat adil-makmur sejahtera. Keadilan hari ini masih dijadikan komoditas yang diperjualbelikan oleh oknum di antara aparat penegaknya.
Bahkan dari sejumlah kasus, seperti terakhir di PTUN Medan, jual beli keadilan itu dilakukan dengan mata uang asing—dolar Amerika dan Singapura.
Sedang dalam keadilan substantif—sosial ekonomi—ketimpangan terus menajam. Indeks gini dari BPS yang sudah melampaui angka 4 kian mendekati kondisi kritis pada angka 5. Pada 2013, kondisinya digambarkan Kepala BPN Joyo Winoto, 0,2% penduduk menguasai 56% aset nasional dengan 87% dari aset tersebut berupa tanah. (berdikarionline, 26/2/2013) Artinya, 98,8% penduduk berebut sisanya yang hanya 44%.
Semua itu mencerminkan realitas hidup bangsa kita dewasa ini jauh dari cita-cita kemerdekaan. Lebih celaka lagi dilihat dari indeks gini itu, semakin lama kita merdeka justru semakin jauh dari cita-cita tersebut.
Hal itu terjadi akibat selama ini pemerintah, eksekutif maupun legislatif, cenderung lebih berorientasi pada kepentingan pribadi, kerabat, dan golongannya saja, hingga segala yang berorientasi pada cita-cita kemerdekaan itu hanya sebatas formalisme dan retorika.
Hanya formalisme, karena dana anggaran pembangunan untuk rakyat fungsi pertamanya sebenarnya untuk bancakan para pengelola anggaran—seperti banyak dibuktikan KPK—sedang yang benar-benar digunakan ke proyek untuk kepentingan rakyat tinggal sisanya saja. Akibatnya, proyeknya cepat rusak dan manfaatnya untuk rakyat berakhir jauh lebih cepat dari semestinya.
Kalaupun ada anggaran yang benar-benar dialokasikan untuk rakyat, sering sebatas untuk pencitraan belaka.
Legislatif juga sibuk pada dirinya sendiri. Kalau legislatif daerah acap menghabiskan PAD murni dengan berbondong-bondong studi banding, legislatif pusat selain gemar ke luar negeri, sibuk menguras anggaran dengan membenahi “sarang” tempatnya kerja. Selain terus berusaha membangun gedung baru bernilai triliunan rupiah, asyik bongkar pasang toilet bernilai miliaran rupiah.
Semua lagak para pemimpin bangsa seperti itulah yang menyebabkan rakyatnya tetap terbelakang setelah 70 tahun merdeka. ***
0 komentar:
Posting Komentar