SALAH satu agenda yang dibahas dalam Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar 3—7 Agustus 2015 adalah masalah reformasi agraria.Itu, menurut ketua umum organisasi tersebut, Din Syamsuddin, untuk dijadikan dasar bagi Muhammadiyah menyerukan reforma agraria.
Muhammadiyah menilai pengaturan soal kepemilikan tanah di Indonesia perlu ditata ulang. "Kami ingin reforma agraria, suatu pembaruan pengaturan tentang kepemilikan tanah.
Jangan sampai yang jumlahnya kecil tapi menguasai jumlah lahan yang lebih besar. Kalau ini terjadi, bisa menimbulkan konflik besar. Ini harus diatur, karena kalau hanya jadi komoditas, harga bisa meroket. Kami sarankan reforma agraria," tegas Din (detik.com, 1/8).
Untuk memperjuangkan keadilan bagi umat, sebelum ini Muhammadiyah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) UU Sumber Daya Air yang mengakibatkan sumber-sumber air dikuasai segelintir perusahaan besar hingga bisa mengganggu kepentingan publik.
Hasilnya, MK membatalkan UU tersebut secara keseluruhan.
Ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia memang sudah sangat buruk. Indeks Gini kepemilikan tanah menunjukkan ketimpangan yang meningkat tajam dari 0,50 (1983) menjadi 0,72 (2003). Realitasnya pada 2013 tecermin dari ucapan Kepala Badan Pertananahan Nasional (BPN) Joyo Winoto bahwa 0,2% penduduk Indonesia saat ini menguasai 56% aset nasional, dengan 87% dari aset tersebut dalam bentuk tanah (Berdikari-Online, 26 Februari 2013).
Itu berarti sekitar separuh dari tanah negeri ini dikuasai hanya 0,2% penduduk, sedangkan 99,8% warga negara hanya mengusai separuh lainnya. Itu jelas amat jauh dari rasa adil.
Dengan gambaran ketimpangan seperti itu tampak memang sudah seharusnya dilakukan reforma agraria, melakukan redistribusi penguasaan dan kepemilikan tanah sesuai amar UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Selain untuk mewujudkan keadilan dalam penguasaan dan pemilikan tanah, reforma agraria juga meningkatkan efektivitas pengolahan lahan bagi kesejahteraan rakyat.
Sebab, ketika tanah dalam penguasaan maskapai rakyat cuma jadi kuli. Sedang setelah menjadi tuan atas tanah yang diolahnya, ia berubah menjadi produsen. Peningkatan harkat atau status sosial itu membuka peluang lebih besar bagi peningkatan kesejahteraan keluarganya.
Sebagai amanat muktamar, dorongan kepada pemerintah untuk melakukan reforma agrraria menjadi program perjuangan formal bagi warga Muhammadiyah. ***
0 komentar:
Posting Komentar