ALIH-ALIH berlari lebih cepat dari rezim pendahulunya yang mencapai pertumbuhan ekomomi rata-rata 6% per tahun.Kuartal II 2015 pemerintahan Jokowi-JK hanya mencetak pertumbuhan 4,67%—lebih rendah dari kuartal pertama 4,71%. (detiknews, 9/8)
Meski demikian, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro masih berbangga dengan menyebut itu sebagai pertumbuhaan ekonomi tertinggi kelima di dunia.
Pernyataan demikian bisa ditebak untuk menetralisasi suasana dari kehebohan di kalangan pengamat asing atas terperosoknya lebih dalam pertumbuhan ekonomi RI, dibanding ambisi percepatan yang berkobar-kobar di awal pemerintahan baru ini.
Kehebohan pengamat asing itu salah satunya dicerminkan lewat tulisan William Pesek di media bergengsi Bloomberg-View (8/8) berjudul lndonesia's Economy Has Stopped Emerging—ekonomi Indonesia telah berhenti bangkit.
Pesek menyebut dalam 10 tahun Yudhoyono menghela ekonomi dari calon negara gagal ke tingkat layak investasi. Namun, pemerintahan Jokowi tidak nyambung ke tingkat lanjutnya. Pertumbuhan 4,67% di kuartal kedua itu laju terlambat dalam enam tahun. Lebih lagi, survei terkini Master Card mendeteksi kemerosotan ekstrem sentimen konsumen, yang terperosok ke tingkat terendah di Asia.
Para investor (asing) siap angkat kaki. IHSG anjlok 13% dari rekor tertingginya 7 April 2015, terpangkas terbesar di Asia dalam waktu yang sama.
Bulan lalu Jokowi menaikkan tarif impor, tapi minta potongan bea masuk atas barang-barang Indonesia pada tamunya PM Inggris David Cameron. Jokowi tidak membantu konstituennya dengan menaikkan harga barang-barang (lewat menaikkan tarif impor itu) ketika nilai mata uangnya melemah. Nilai rupiah merosot 13% dalam 12 bulan terakhir.
Sekalipun ini masih awal bagi Jokowi, tulis Pesek, Indonesia sudah harus membayar mismanajemennya. Bukan kebetulan para ekonom memasukkan Indonesia di antara (negara-negara) emerging market yang kini (terancam) kehilangan dekade.
"Sangat sedikit dalam sejarah emerging market yang mampu menjadi negara maju," Pesek mengutip pernyataan Ruchir Sharma dari Morgan Stanley. "Ini suatu putaran kembali ke (arah) normalnya."
Normalnya gagal menjadi negara maju itu tentu berbangga dengan justifikasi bagi realitas tertahan pada keterbelakangan. Ini yang tentu layak diwaspadai dengan berlanjut kian melambatnya pertumbuhan ekonomi kita.
Kacamata pengamat asing itu bisa dijadikan cermin untuk melihat diri kita di mata orang lain. Kira-kira, begitulah konyolnya kita. ***
0 komentar:
Posting Komentar