TIONGKOK, negeri berpenduduk 1,3 miliar jiwa dan sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia setelah AS, akhir pekan lalu menjelma jadi biang baru krisis ekonomi dunia.Hal itu terjadi setelah devaluasi yuan terhadap dolar AS 1,86%, disusul laporan ekenomi Negeri Tirai Bambu itu, meningkatkan kekhawatiran bahwa pelambatan Tiongkok akan menahan pertumbuhan di seluruh dunia, bahkan memukul ekomomi Amerika Serikat yang terkuat sekalipun.
Indeks Dow Jones di bursa saham Wall Street anjlok lebih dari 500 poin atau 3,12% pada penutupan pasar Jumat petang (dini hari WIB), mengikuti pukulan telak yang sama di kawasan Asia dan Eropa. Apple, yang valuasi sahamnya terbesar di dunia kehilangan 6,1% atau sekitar 37 miliar dolar AS, disusul Microsoft kehilangan 5,7%, Chevron turun 4,4%, Bank of America 3,7%, dan seterusnya (Kompas.com, 22/8).
Aksi jual selama dua hari menghapus laba yang dibuat sepanjang tahun 2015 ini membuat indeks 30 saham unggulan (blue chips)—dengan Apple terbesar—ke level terendah sejak Oktober tahun lalu.
Indonesia, yang telah menjadikan Tiongkok mitra dagang terbesarnya di dunia, Jumat (21/8), juga tersengat parah. Kurs rupiah ditutup mendekati Rp14 ribu per dolar AS. IHSG juga terjun 105,958 poin atau 2,39% ke level 4.335,953. Dengan itu, IHSG telah kehilangan lebih 1.160 poin dari rekor tertingginya 7 April 2015 yang mencapai level 5.500. Dalam empat bulan ini IHSG telah kehilangan nilai lebih 21%.
Dampak negatif pelemahan Tiongkok sebagai pelahap energi sumber daya alam terbesar di dunia itu sebenarnya punya celah yang bisa menguntungkan Indonesia, yakni anjloknya harga minyak bumi.
Ini bisa mengurangi defisit impor migas yang selama ini menekan neraca pembayaran (current account).
Rilis data terakhir pelambatan Tiongkok itu membuat harga minyak bumi AS jatuh di bawah 40 dolar AS untuk pertama kalinya dalam enam tahun pada Jumat (21/8). Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) hari itu menjadi 39,86 dolar AS per barel. Dalam sepekan ini harga WTI merosot 4,8%, sedang Brent (London) turun hingga 7,3%.
Meskipun demikian, peluang advantages yang terbuka itu tak mudah kita aktualisasikan karena menghadapi tekanan global yang amat berat selama ini, ekonomi Indonesia sempat agak goyah. Kurs rupiah, menurut gubernur BI maupun Menteri Keuangan, sudah tidak lagi pada fundamentalnya, tapi sudah ambles alias undervalued.
Akibatnya, Indonesia bisa terseret lebih jauh oleh pelemahan ekonomi Tiongkok. ***
0 komentar:
Posting Komentar