BANK Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) akhirnya menaikkan suku bunga acuan dari nyaris nol persen sejak krisis 2008 jadi 0,25—0,50%. Kenaikan itu melegakan, bak pecahnya bisul yang menyakitkan ekonomi dunia sepanjang tahun.
Kenaikan suku bunga The Fed yang selalu ditunda itu memicu ketidakpastian ekonomi dunia. Sehingga, ketika diumumkan Rabu (16-12) sore, disambut positif pelaku pasar sedunia sebagai datangnya kepastian. Pasar saham sejagat langsung menghijau, diikuti IHSG yang menguat 1,3% atau 58,66 poin di posisi 4.542,12. Juga rupiah, Kamis pagi 09.10 sudah menguat 0,15% jadi Rp14.049 per dolar AS. (Kompas.com, 17/12)
Kenaikan suku bunga acuan dilakukan dengan pertimbangan membaiknya perekonomian AS. Diharapkan suku bunga acuan akan terus naik hingga tahun depan di level 2,4%. "Kenaikan ini menandai berakhirnya rentang tujuh tahun yang sangat luar biasa, saat suku bunga The Fed dipatok mendekati hampir nol persen karena krisis finansial serta resesi semenjak Great Depression," ujar Gubernur The Fed Janet Yellen. "Hal ini juga menandai perkembangan ekonomi di AS, yakni terbukanya kembali lapangan pekerjaan, naiknya pendapatan, dan membaiknya kesejahteraan jutaan masyarakat Amerika Serikat." Kebijakan The Fed yang semula dicemaskan berakibat buruk, tapi nyatanya justru membuat dunia jadi lega sebaiknya direspons dengan kebijakan moneter yang mendukung.
Dalam hal ini menjadikan suasana ekonomi global yang relaks itu sebagai pangkal relaksasi perekonomian nasional. Buang jauh tekanan eksternal yang berporos pada kecemasan terhadap penaikan suku bunga The Fed. Seperti, ketakutan berlebihan kalau suku bunga The Fed naik dana asing akan kabur sehingga suku bunga domestik dibuat tinggi, yang berakibat beban dunia usaha jadi amat berat hingga memperlambat perekonomian.
Dengan relaksasi lewat penurunan suku bunga acuan domestik, mungkin ada dana asing keluar, tapi akan tercapai keseimbangan baru yang mampu mendorong gerak perekonomian lebih dinamis dengan pertumbuhan lebih kualitatif. Faisal Basri menyarankan BI memangkas suku bunga acuan (BI rate) menjadi 7%, yang kalau inflasi Indonesia 4,9% masih ada selisih 2,6%, dibanding The Fed rate 0,5% yang impas dengan inflasi AS 0,5%. (detikfinance, 17/12)
Apalagi kalau realisasi inflasi sampai Desember hanya 3%, peluang relaksasi bisa lebih besar. Kalau ada pilihan yang bisa meringankan dunia usaha dan memacu laju ekonomi, kenapa memilih yang memberatkan dan terseok? ***
Kenaikan suku bunga acuan dilakukan dengan pertimbangan membaiknya perekonomian AS. Diharapkan suku bunga acuan akan terus naik hingga tahun depan di level 2,4%. "Kenaikan ini menandai berakhirnya rentang tujuh tahun yang sangat luar biasa, saat suku bunga The Fed dipatok mendekati hampir nol persen karena krisis finansial serta resesi semenjak Great Depression," ujar Gubernur The Fed Janet Yellen. "Hal ini juga menandai perkembangan ekonomi di AS, yakni terbukanya kembali lapangan pekerjaan, naiknya pendapatan, dan membaiknya kesejahteraan jutaan masyarakat Amerika Serikat." Kebijakan The Fed yang semula dicemaskan berakibat buruk, tapi nyatanya justru membuat dunia jadi lega sebaiknya direspons dengan kebijakan moneter yang mendukung.
Dalam hal ini menjadikan suasana ekonomi global yang relaks itu sebagai pangkal relaksasi perekonomian nasional. Buang jauh tekanan eksternal yang berporos pada kecemasan terhadap penaikan suku bunga The Fed. Seperti, ketakutan berlebihan kalau suku bunga The Fed naik dana asing akan kabur sehingga suku bunga domestik dibuat tinggi, yang berakibat beban dunia usaha jadi amat berat hingga memperlambat perekonomian.
Dengan relaksasi lewat penurunan suku bunga acuan domestik, mungkin ada dana asing keluar, tapi akan tercapai keseimbangan baru yang mampu mendorong gerak perekonomian lebih dinamis dengan pertumbuhan lebih kualitatif. Faisal Basri menyarankan BI memangkas suku bunga acuan (BI rate) menjadi 7%, yang kalau inflasi Indonesia 4,9% masih ada selisih 2,6%, dibanding The Fed rate 0,5% yang impas dengan inflasi AS 0,5%. (detikfinance, 17/12)
Apalagi kalau realisasi inflasi sampai Desember hanya 3%, peluang relaksasi bisa lebih besar. Kalau ada pilihan yang bisa meringankan dunia usaha dan memacu laju ekonomi, kenapa memilih yang memberatkan dan terseok? ***
0 komentar:
Posting Komentar