Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Menyimak RUU Contempt of Court!

DRAF Rancangan Undang-Undang Contempt of Court (RUU CoC) atau Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan yang ditemukan detik.com (30/11) mengancam pelaku tindak pidana contempt of court hukuman 10 tahun penjara. 

Contempt of court yang secara harfiah lazim diartikan menghina pengadilan, dalam pertimbangan draf itu disebutkan, "Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan adalah setiap perbuatan bersifat intervensi, tindakan, sikap, ucapan, tingkah laku dan/atau publikasi yang bertendensi dapat menghina, merendahkan, terganggunya, dan merongrong kewibawaan, kehormatan, dan martabat hakim atau badan peradilan." 

Dengan rumusan sedemikian luas kategori contempt of court, sistem peradilan di Indonesia yang selama ini peradilan terbuka oleh RUU itu cenderung diubah menjadi peradilan tertutup, salah satunya tecermin di Pasal 24: "Setiap orang yang memublikasikan atau memperkenankan untuk dipublikasikan proses persidangan yang sedang berlangsung, atau perkara yang dalam tahap upaya hukum, yang bertendensi dapat memengaruhi kemerdekaan atau sifat tidak memihak hakim, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling banyak Rp1 miliar." 

Sifat tertutup sistem peradilan dalam RUU tersebut diperkuat penjelasan Pasal 49 Ayat (2): "Sistem pertanggungjawaban mutlak atau strict liability juga dapat dijatuhkan terhadap perbuatan yang memublikasi terhadap perkara yang sedang dalam proses peradilan sehingga publikasi tersebut bertendensi adanya pendapat umum (public opinion) yang dapat memengaruhi hakim, juga secara langsung maupun tidak langsung akan memengaruhi kepercayaan publik terhadap kekuasaan kehakiman." 

Luasnya rumusan contempt of court dan rentang tanggung jawab langsung publikasi hingga kemungkinan akibat langsung dan tidak langsungnya, bukan mustahil pasal-pasal tersebut kelak menjadi pasal karet yang bisa diulur kian-kemari tergantung kebutuhan. Layak mendapat perhatian masyarakat luas, draf RUU CoC ini secara praktis mengganti rezim peradilan di Indonesia dari peradilan terbuka menjadi peradilan tertutup. Hal ini tentu tidak sederhana, karena sistem peradilan terbuka merupakan bagian dari kehidupan demokrasi modern, sedang sistem peradilan tertutup bagian penting dari kekuasaan tiran. 

Meski demikian, draf RUU CoC itu tak terlepas dari kecenderungan belakangan ini, banyak muncul RUU atau revisi UU yang menjadi arus balik dari demokratisasi kembali ke tiranisasi. Gejala apa semua itu? ***

0 komentar: