Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Dihargai, Dirjen Pajak Mundur!

GAGAL dan capaiannya jauh dari target penerimaan pajak 2015, Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito mundur dari jabatannya terhitung mulai Rabu (2/12). Sikapnya yang kesatria berani mengakui kegagalan itu dihargai, antara lain oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyebutnya sebagai sikap sportif. 

Target penerimaan pajak 2015, di luar pajak minyak dan gas, sebesar Rp1.244 triliun. Berdasar data Direktorat Jenderal Pajak, penerimaan pajak hingga 27 November sebesar Rp806 triliun atau 64,75%. Jadi, realisasi terhadap target kurang Rp438,72 triliun. (Kompas, 2/12) 

Wapres Jusuf Kalla menghargai keputusan Sigit mengundurkan diri. "Tentu kami menghargai suatu upaya dan juga mengakui sportivitas dan kejujuran. Kami menghargai, walaupun tidak tercapai (target pajak)," ujar Wapres. (Kompas.com, 2/12) 

Menurut Kalla, Sigit gagal mencapai target bukan karena ketidakmampuannya, melainkan lantaran situasi ekonomi dunia termasuk Indonesia saat ini sedang menurun. Sigit, mantan Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak Wajib Pajak Besar Jakarta, terpilih dalam seleksi calon Dirjen Pajak. 

Oleh karena itu, alasan pengunduran diri yang disampaikan kepada pers, ia menjadi Dirjen Pajak bukan penugasan, melainkan melamar lewat lelang terbuka jabatan. Untuk itu, pengunduran diri merupakan tanggung jawab saat target tidak tercapai. Sikap jujur dan sportif Sigit mengundurkan diri ketika tidak mampu mencapai target, meski sebenarnya ada alasan untuk mengelak seperti uraian Wapres, merupakan watak kesatria yang layak diteladani. Betapa dengan kejujuran mau mengakui kegagalannya itu, ia tidak menyandera negara dan bangsa dengan bercokol di jabatan strategis padahal kapasitasnya tidak mumpuni. 

Keteladanan Sigit menjadi setitik harapan di tengah kegelapan bangsa yang disandera oleh segelintir elite busuk bercokol di posisi-posisi strategis yang hanya menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan secara terang-terangan, tanpa rasa malu sedikit pun. 

Lucunya, yang tersandera oleh perilaku busuk segelintir elite itu juga partainya. Soalnya rakyat makin kritis menghukum partai yang menyandera rakyat. Itu bisa dilihat pada hasil pemilu 2004, PDIP yang menguasai 34,5% suara cuma meraih 20%. Pada pemilu 2014, akibat ulah Nazaruddin dan segelintir elitenya, Partai Demokrat yang punya 148 kursi DPR jadi tinggal 61 kursi. 

Rakyat selalu punya cara membebaskan dari penyanderaan oleh elite busuk. Teladan Sigit diharapkan mencerahkan lebih efektif. ***

0 komentar: