BICARA 1 menit 28 detik pada wartawan di Istana Merdeka, Senin, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengekspresikan kemarahan luar biasa atas pencatutan namanya selaku presiden dan Jusuf Kalla selaku wakil presiden oleh Ketua DPR Setya Novanto dan pengusaha Riza Chalid untuk meminta saham Freeport.
Kemarahan Jokowi itu disulut gelagat tidak adilnya sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang secara demonstratif tunduk pada kemauan Novanto, dengan penundaan sidang dari pukul 09.00 jadi pukul 13.00, lalu sidang yang sejak awal disiapkan terbuka diubah jadi tertutup. Dengan gelagat itu, harapan rakyat mendapat keadilan dari MKD pun redup.
Pencatutan nama Presiden dan Wapres untuk minta saham Freeport itu terungkap dalam rekaman pembicaraan Setya Novanto, Riza Chalid (pengusaha), dan Dirut Freeport Maroef Sjamsoeddin yang dua kali diputar di sidang MKD.
Menurut Maroef di sidang MKD, ia yang merekam pertemuan yang diinisiasi Ketua DPR dalam rangka perpanjangan kontrak Freeport, dengan alasan menjaga integritas dirinya di perusahaan karena Ketua DPR membawa pengusaha ke pertemuan itu hingga berpotensi konflik kepentingan. "Saya enggak apa-apa dikatakan presiden gila, presiden saraf, presiden koppig, enggak apa-apa. Tapi, kalau sudah menyangkut wibawa, mencatut, meminta saham 11 persen, itu yang saya tidak mau. Enggak bisa!" tegas Jokowi dengan menekan emosi pada setiap kata ucapannya. Suara dan tangannya bergetar saat memberi pernyataan 1 menit 28 detik.
Presiden menegaskan tidak bisa menerima jika ada pihak yang mempermainkan lembaga negara. "Lembaga negara itu bisa kepresidenan, bisa lembaga negara lain," ujarnya. Betapa rendah wibawa negara ini di mata dunia jika presiden dan wapresnya terkenal tukang minta saham perusahaan asing di negerinya. Permintaan saham 11% untuk Presiden Jokowi dan 9% untuk Wapres JK dalam rekaman itu diucapkan oleh Riza, yang dibawa Novanto sebagai juru bicaranya ke Maroef.
Selain itu, ia minta saham dan proyek dari PLTU yang dibangun Freeport di Papua untuk mereka (Riza dan bosnya). Ucapan Riza itu digongi Novanto dengan berkata ke Maroef, "Kalau Riza yang atur, kita semua happy." Kemarahan Jokowi itu mengisyaratkan tidak bisa mengharap keadilan dari MKD.
Jadi, lupakan MKD. Itu juga isyarat bagi penegak hukum di bawah presiden, kejaksaan dan kepolisian, untuk menuntaskan sisi pidana kesepakatan jahat untuk memperkaya diri dengan mencatut nama presiden dan wapres, merusak wibawa pemerintah dan negara. ***
Pencatutan nama Presiden dan Wapres untuk minta saham Freeport itu terungkap dalam rekaman pembicaraan Setya Novanto, Riza Chalid (pengusaha), dan Dirut Freeport Maroef Sjamsoeddin yang dua kali diputar di sidang MKD.
Menurut Maroef di sidang MKD, ia yang merekam pertemuan yang diinisiasi Ketua DPR dalam rangka perpanjangan kontrak Freeport, dengan alasan menjaga integritas dirinya di perusahaan karena Ketua DPR membawa pengusaha ke pertemuan itu hingga berpotensi konflik kepentingan. "Saya enggak apa-apa dikatakan presiden gila, presiden saraf, presiden koppig, enggak apa-apa. Tapi, kalau sudah menyangkut wibawa, mencatut, meminta saham 11 persen, itu yang saya tidak mau. Enggak bisa!" tegas Jokowi dengan menekan emosi pada setiap kata ucapannya. Suara dan tangannya bergetar saat memberi pernyataan 1 menit 28 detik.
Presiden menegaskan tidak bisa menerima jika ada pihak yang mempermainkan lembaga negara. "Lembaga negara itu bisa kepresidenan, bisa lembaga negara lain," ujarnya. Betapa rendah wibawa negara ini di mata dunia jika presiden dan wapresnya terkenal tukang minta saham perusahaan asing di negerinya. Permintaan saham 11% untuk Presiden Jokowi dan 9% untuk Wapres JK dalam rekaman itu diucapkan oleh Riza, yang dibawa Novanto sebagai juru bicaranya ke Maroef.
Selain itu, ia minta saham dan proyek dari PLTU yang dibangun Freeport di Papua untuk mereka (Riza dan bosnya). Ucapan Riza itu digongi Novanto dengan berkata ke Maroef, "Kalau Riza yang atur, kita semua happy." Kemarahan Jokowi itu mengisyaratkan tidak bisa mengharap keadilan dari MKD.
Jadi, lupakan MKD. Itu juga isyarat bagi penegak hukum di bawah presiden, kejaksaan dan kepolisian, untuk menuntaskan sisi pidana kesepakatan jahat untuk memperkaya diri dengan mencatut nama presiden dan wapres, merusak wibawa pemerintah dan negara. ***
0 komentar:
Posting Komentar