Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

MKD, Mahkamah Konco Dewe!

PENGASUH Pesantren Tebu Ireng KH Salahuddin Wahid berkata, "Kita bersyukur Ketua DPR tidak mau mundur, jadi ada sidang kan. Sidang MKD, kalau orang jowo bilang mahkamah konco dewe (teman sendiri). Wong mereka yang menjalankan sidang tidak mengerti makna etika, terlalu banyak guyonan yang terjadi dalam sidang." 

Gus Sholah, sapaan akrab Salahuddin Wahid, menyatakan itu saat menjadi salah satu pembicara dalam pengajian bulanan Pengurus Pusat (PP) Muhammmadiyah di Jakarta, Jumat. Ia mengkritisi sikap Setya Novanto yang masih bertahan dengan posisinya sebagai ketua DPR dan merasa tak bersalah atas kasus yang bergulir di MKD. Menurut dia, harusnya Indonesia ada budaya mundur. (detik-news, 4/12) 

"Di negara maju ada budaya mundur, di negara mundur ada budaya maju. Sudah salah ya maju terus, seperti itu kenyataan yang ada di Indonesia," ujarnya. 

Ia menyayangkan perilaku pimpinan MKD atas pelapor dan saksi. Semestinya yang melapor diperlakukan dengan baik, bukan malah diperlakukan seperti terdakwa, tukas Gus Sholah. Di pengajian bertema Elite politik elite negeri itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyatakan, "Ketika MKD mengadili sebuah peristiwa, bukan peragaan yang etis yang kita lihat, tapi ada peragaan kekuasaan yang overdosis. Terjadi kepentingan golongan yang sudah jelas siapa-siapanya dari A sampai Z." Dengan mengungkap Indonesia negara terdemokratis nomor tiga di dunia tapi 70 persen (318 dari 524) kepala daerahnya terlibat kasus korupsi, Haedar menilai elite politik negeri ini telah kehilangan nilai-nilai spiritual dalam menjalankan kekuasaannya.

Runtuhnya nilai akhlak elite negeri ini, menurut Haedar, disebabkan dua hal, kerakusan akan materi dan pemegang kekuasaan yang kehilangan makna spiritual dalam menjalankan tugasnya. Dari bicara dua tokoh itu, baik secara kultural (Gus Sholah) maupun secara spiritual (Haedar Nashir), bisa disimpulkan moralitas sebagian elite politik kita cenderung tidak sehat, alias sedang sakit. Atau pinjam gaya Gus Sholah, kalau wong jowo moralitas seperti itu bisa disebut kurang waras. 

Dalam kondisi moralitas seperti itu, logika umum dipelintir atau diputar balik. Bukan hanya dalam bicara (narasi), melainkan juga dalam perilaku. Contohnya, pengadu yang semestinya diperlakukan wajar, malah diperlakukan selayak pesakitan. 

Harapan tentu, jaringan saraf sehat di tubuh lembaga elite politik bisa mempertahankan kewarasan dalam setiap keputusan lembaga politik, pemerintahan, dan kenegaraan. ***

0 komentar: