JAKSA Agung HM Prasetyo mendeponering atau mengesampingkan perkara dua mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Bagi sebagian masyarakat, langkah deponering itu dinilai sebagai bukti adanya kriminalisasi dalam kasusnya.
Seperti peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting menyatakan hal tersebut cukup menjadi penegas bahwa yang menimpa Abraham Samad dan Bambang Widjojanto ketika menjadi pimpinan KPK adalah kriminalisasi.
"Deponir adalah instrumen hukum yang tepat untuk memecahkan kasus kriminalisasi tersebut," ujar Miko. Perlu ada jaminan dari negara agar kejadian serupa tidak terulang kembali, tegasnya. (Kompas.com, 3/3/2016)
Bambang Widjojanto dan Abraham Samad dijadikan tersangka sebagai serangan balik dari kepolisian setelah KPK menetapkan status tersangka terhadap Budi Gunawan yang saat itu dicalonkan sebagai kapolri. Presiden Jokowi membentuk tim independen dipimpin Buya Syafi'i Ma'arif untuk mencari penyelesaian konflik antara Polri dan KPK. Saran tim itu kepada Presiden salah satunya, membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai kapolri.
Penjelasan Jaksa Agung juga terkesan berusaha merehabilitasi nama baik Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Ia katakan, opsi deponir diambil lantaran kejaksaan khawatir dua kasus itu justru kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi yang sedang bergelora saat ini. Terlebih lagi, Abraham dan Bambang dianggap sebagai ikon antikorupsi.
Karena itu, ia tegaskan deponering tersebut dilakukan untuk kepentingan umum. Jika kasus yang menimpa pegiat antikorupsi itu tidak segera dituntaskan, dikhawatirkan memengaruhi semangat bangsa dan negara dalam memberantas korupsi.
Upaya pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, menurut Jaksa Agung, adalah demi meningkatkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Pasalnya, korupsi terbukti telah merampas hak hidup masyarakat, baik dalam ekonomi, politik, maupun sosial. "Termasuk juga menurunkan kepercayaan masyarakat luar negeri ketika ingin berhubungan dan berinvestasi di Indonesia," tegas Prasetyo.
Langkah Jaksa Agung itu, termasuk menutup kasus penyidik KPK Novel Baswedan yang kedaluwarsa, tak lepas dari instruksi Presiden Joko Widodo. Ini wajar diapresiasi, meski instruksinya relatif jauh terlambat hingga pimpinan KPK kehabisan masa dinasnya, dibanding tepat waktu deponering kasus cicak vs buaya era SBY. ***
"Deponir adalah instrumen hukum yang tepat untuk memecahkan kasus kriminalisasi tersebut," ujar Miko. Perlu ada jaminan dari negara agar kejadian serupa tidak terulang kembali, tegasnya. (Kompas.com, 3/3/2016)
Bambang Widjojanto dan Abraham Samad dijadikan tersangka sebagai serangan balik dari kepolisian setelah KPK menetapkan status tersangka terhadap Budi Gunawan yang saat itu dicalonkan sebagai kapolri. Presiden Jokowi membentuk tim independen dipimpin Buya Syafi'i Ma'arif untuk mencari penyelesaian konflik antara Polri dan KPK. Saran tim itu kepada Presiden salah satunya, membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai kapolri.
Penjelasan Jaksa Agung juga terkesan berusaha merehabilitasi nama baik Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Ia katakan, opsi deponir diambil lantaran kejaksaan khawatir dua kasus itu justru kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi yang sedang bergelora saat ini. Terlebih lagi, Abraham dan Bambang dianggap sebagai ikon antikorupsi.
Karena itu, ia tegaskan deponering tersebut dilakukan untuk kepentingan umum. Jika kasus yang menimpa pegiat antikorupsi itu tidak segera dituntaskan, dikhawatirkan memengaruhi semangat bangsa dan negara dalam memberantas korupsi.
Upaya pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, menurut Jaksa Agung, adalah demi meningkatkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Pasalnya, korupsi terbukti telah merampas hak hidup masyarakat, baik dalam ekonomi, politik, maupun sosial. "Termasuk juga menurunkan kepercayaan masyarakat luar negeri ketika ingin berhubungan dan berinvestasi di Indonesia," tegas Prasetyo.
Langkah Jaksa Agung itu, termasuk menutup kasus penyidik KPK Novel Baswedan yang kedaluwarsa, tak lepas dari instruksi Presiden Joko Widodo. Ini wajar diapresiasi, meski instruksinya relatif jauh terlambat hingga pimpinan KPK kehabisan masa dinasnya, dibanding tepat waktu deponering kasus cicak vs buaya era SBY. ***
0 komentar:
Posting Komentar