RUPIAH menguat drastis 13 hari berturut-turut hingga menurut Bloomberg, Senin (7/3/2016), tembus ke Rp12.984 per dolar AS. Sampai hari itu tercatat, sepanjang 2016 rupiah menguat sebesar 5,64%. Penguatan ini kian dekat untuk rebound dari pelemahan rupiah sepanjang 2015 sebesar 9,39%.
Namun, menurut Faisal Basri, jika dibanding dengan aras tertinggi nilai tukar rupiah yang tercatat pada 2 Agustus 2011, nilai tukar rupiah pada Senin itu melemah sebesar 35,1%. (Kompas.com, 8/3/2016)
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menjelaskan berdasar pemantauan bank sentral, beberapa negara di kawasan regional juga mengalami penguatan. Dengan demikian, nilai tukar rupiah pun ikut terkerek.
"Kalau kita lihat, Tiongkok mengurangi reserve requirement (giro wajib minimum/GWM)-nya. Dampaknya, ke beberapa negara, terjadi penguatan mata uang," kata Agus. (Kompas.com, 7/3/2016)
Dengan penurunan GWM itu, perbankan Tiongkok mendapat tambahan likuiditas signifikan untuk ekstensifikasi bisnisnya di dalam dan luar negeri. Dan Indonesia, sebagai pengguna relatif besar dana perbankan Tiongkok untuk infrastruktur, menstimulan dana operasional BUMN, juga perbankan, mendapat angin segar dengan penurunan GWM Tiongkok itu.
Langkah itu implementasi dari janji Pemerintah Tiongkok pada pertemuan G20 di Shanghai bulan lalu. Perdana Menteri Li Keqiang percaya diri mampu menjaga perekonomian dengan mengatasi kompleksitas di dalam dan luar negeri, seiring tekanan mereka akan reformasi.
Itu diperkuat Xu Shaosi, Kepala National Development and Reform Commission (NDRC), Tiongkok tidak akan mengalalami "hard landing". Ekonomi Tiongkok dengan cadangan devisa lebih 3 triliun dolar AS, pada 2015 tumbuh 6,9%, terendah selama 25 tahun, tapi masih tercepat di skala global.
Langkah positif dan jaminan stabilitas ekonomi Tiongkok sebagai mitra ekspor-impor terbesar dan sumber pinjaman baru bagi Indonesia, jelas penting bagi penguatan drastis nilai tukar rupiah terakhir ini—setidaknya sesuai pemantauan BI menurut Agus Martowardojo.
Tentu saja faktor-faktor lain tetap mendukung penguatan itu, seperti suku bunga acuan negatif Jepang dan Eropa, menipisnya peluang naik suku bunga acuan The Fed, kalaupun naik seperti awal tahun dampaknya tak signifikan, serta serangkai paket kebijakan pemerintah.
Tapi semua itu episentrumnya saat ini ada di Tiongkok. Kalau Tiongkok goyah, semua ikut goyah. Seperti depresiasi rupiah 2015, terjadi juga akibat devaluasi yuan. ***
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menjelaskan berdasar pemantauan bank sentral, beberapa negara di kawasan regional juga mengalami penguatan. Dengan demikian, nilai tukar rupiah pun ikut terkerek.
"Kalau kita lihat, Tiongkok mengurangi reserve requirement (giro wajib minimum/GWM)-nya. Dampaknya, ke beberapa negara, terjadi penguatan mata uang," kata Agus. (Kompas.com, 7/3/2016)
Dengan penurunan GWM itu, perbankan Tiongkok mendapat tambahan likuiditas signifikan untuk ekstensifikasi bisnisnya di dalam dan luar negeri. Dan Indonesia, sebagai pengguna relatif besar dana perbankan Tiongkok untuk infrastruktur, menstimulan dana operasional BUMN, juga perbankan, mendapat angin segar dengan penurunan GWM Tiongkok itu.
Langkah itu implementasi dari janji Pemerintah Tiongkok pada pertemuan G20 di Shanghai bulan lalu. Perdana Menteri Li Keqiang percaya diri mampu menjaga perekonomian dengan mengatasi kompleksitas di dalam dan luar negeri, seiring tekanan mereka akan reformasi.
Itu diperkuat Xu Shaosi, Kepala National Development and Reform Commission (NDRC), Tiongkok tidak akan mengalalami "hard landing". Ekonomi Tiongkok dengan cadangan devisa lebih 3 triliun dolar AS, pada 2015 tumbuh 6,9%, terendah selama 25 tahun, tapi masih tercepat di skala global.
Langkah positif dan jaminan stabilitas ekonomi Tiongkok sebagai mitra ekspor-impor terbesar dan sumber pinjaman baru bagi Indonesia, jelas penting bagi penguatan drastis nilai tukar rupiah terakhir ini—setidaknya sesuai pemantauan BI menurut Agus Martowardojo.
Tentu saja faktor-faktor lain tetap mendukung penguatan itu, seperti suku bunga acuan negatif Jepang dan Eropa, menipisnya peluang naik suku bunga acuan The Fed, kalaupun naik seperti awal tahun dampaknya tak signifikan, serta serangkai paket kebijakan pemerintah.
Tapi semua itu episentrumnya saat ini ada di Tiongkok. Kalau Tiongkok goyah, semua ikut goyah. Seperti depresiasi rupiah 2015, terjadi juga akibat devaluasi yuan. ***
0 komentar:
Posting Komentar