UNTUK melihat nasib si kecil, harus lewat si kecil itu sendiri. "Harusnya dicek ke pengusaha kecil biar tahu apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia," ujar Along, koordinator pengusaha Glodok, Jakarta, Minggu (detikfinance, 28/2/2016).
"Pemerintah bilang ekonomi stabil. Stabil dari mana? Lagi goyang ini," tukas Along. Menurut dia, perekonomian Indonesia tengah sulit di berbagai bidang. "Jual apa pun, kalau ekonomi lemah, ya lesu," lanjutnya.
Ia perlihatkan banyak pedagang yang lebih memilih menutup tokonya di hari libur (seperti Minggu itu) untuk istirahat ketimbang jualan. "Mereka milih libur biar enggak stres di toko," kata Along. Banyak pedagang di Glodok yang tengah kesulitan membayar sewa toko karena lesunya pembeli.
"Sekarang untuk bayar sewa toko saja susah. Di sini sudah banyak yang tutup juga. Dulu mana pernah begitu!" tegasnya.
Awi, pedagang elektronik di Glodok, mengakui sepinya pembeli belakangan ini terparah dari tahun-tahun sebelumnya. "Sepi parah, lebih parah dari 1998 dan 2008. Duit enggak muter. Pemerintah harus segera mengatasi," ujar Awi.
Kalau para pengusaha kecil di jantung bisnis riil sudah mengeluh nasibnya seburuk itu, betapa pula mereka yang berusaha di tempat jauh dari pandangan penguasa seperti nelayan di tengah laut.
Betapa menderita nelayan dewasa ini disampaikan lebih dari 30 asosiasi nelayan dari seluruh Tanah Air ke Komisi IV DPR, Kamis (25/2/2016). Mereka mengaku dirugikan sejumlah kebijakan, dari larangan alat tangkap jenis cantrang sampai kenaikan pungutan hasil perikanan (PHP) hingga 1.200% (detiknews, 25/2/2016).
Mengenai alat tangkap cantrang yang dinilai pemerintah tidak ramah lingkungan, Endang wakil dari himpunan penangkap udang berkata, "Kami beroperasi di medan yang ganas. Kami tidak pernah beroperasi di karang, tidak merusak."
Menanggapi keluhan para nelayan, anggota Komisi IV, Daniel Johan, dari PKB mengatakan aduan ini sudah berulang sejak setahun lalu. Ia menyoroti larangan atas cantrang yang sudah digunakan nelayan sejak lama. "Cantrang ada yang ramah lingkungan. Norwegia dan Australia memperbolehkan," ujar Johan.
Berulangnya nelayan dari segala penjuru negeri mengadukan nasib malangnya ke DPR mencerminkan buruknya nasib mereka kini. Bahkan, pungutan (PHP) atas nelayan kecil naik dari 1,5% jadi 5%, padahal segala jenis pungutan atas usaha kecil di daratan lewat ribuan perda telah dihapus. Untuk mengetahui nasib si kecil, memang harus langsung pada si kecil. ***
Ia perlihatkan banyak pedagang yang lebih memilih menutup tokonya di hari libur (seperti Minggu itu) untuk istirahat ketimbang jualan. "Mereka milih libur biar enggak stres di toko," kata Along. Banyak pedagang di Glodok yang tengah kesulitan membayar sewa toko karena lesunya pembeli.
"Sekarang untuk bayar sewa toko saja susah. Di sini sudah banyak yang tutup juga. Dulu mana pernah begitu!" tegasnya.
Awi, pedagang elektronik di Glodok, mengakui sepinya pembeli belakangan ini terparah dari tahun-tahun sebelumnya. "Sepi parah, lebih parah dari 1998 dan 2008. Duit enggak muter. Pemerintah harus segera mengatasi," ujar Awi.
Kalau para pengusaha kecil di jantung bisnis riil sudah mengeluh nasibnya seburuk itu, betapa pula mereka yang berusaha di tempat jauh dari pandangan penguasa seperti nelayan di tengah laut.
Betapa menderita nelayan dewasa ini disampaikan lebih dari 30 asosiasi nelayan dari seluruh Tanah Air ke Komisi IV DPR, Kamis (25/2/2016). Mereka mengaku dirugikan sejumlah kebijakan, dari larangan alat tangkap jenis cantrang sampai kenaikan pungutan hasil perikanan (PHP) hingga 1.200% (detiknews, 25/2/2016).
Mengenai alat tangkap cantrang yang dinilai pemerintah tidak ramah lingkungan, Endang wakil dari himpunan penangkap udang berkata, "Kami beroperasi di medan yang ganas. Kami tidak pernah beroperasi di karang, tidak merusak."
Menanggapi keluhan para nelayan, anggota Komisi IV, Daniel Johan, dari PKB mengatakan aduan ini sudah berulang sejak setahun lalu. Ia menyoroti larangan atas cantrang yang sudah digunakan nelayan sejak lama. "Cantrang ada yang ramah lingkungan. Norwegia dan Australia memperbolehkan," ujar Johan.
Berulangnya nelayan dari segala penjuru negeri mengadukan nasib malangnya ke DPR mencerminkan buruknya nasib mereka kini. Bahkan, pungutan (PHP) atas nelayan kecil naik dari 1,5% jadi 5%, padahal segala jenis pungutan atas usaha kecil di daratan lewat ribuan perda telah dihapus. Untuk mengetahui nasib si kecil, memang harus langsung pada si kecil. ***
0 komentar:
Posting Komentar