KETIKA orang kebanyakan di jalanan sudah menggunakan smartphone, menjadi sebuah keniscayaan pemerintahnya harus menjadi smart government—pemerintah yang cerdas. Sebab, teknologi smartphone itu diciptakan dengan ideologi tertentu, penggunanya pun secara masif bisa terpola cara berpikir di balik teknologi tersebut.
Akibatnya, jika pemerintah tidak saksama berubah menjadi cerdas, bukan hanya tertinggal oleh kemajuan masyarakat yang diaturnya, melainkan juga menimbulkan konflik yang tersulut cara berpikir usang sehingga tak mampu mengantisipasi, mengarahkan, dan memfasilitasi masyarakat yang telah berorientasi pada kemajuan zaman.
Pertarungan antarsopir taksi di Jakarta yang belum selesai, seperti ditulis Rhenald Kasali (Kompas.com, 29/3/2016) salah satu contoh konflik tersebut. Kebutuhan masyarakat yang telah terpola dalam aplikasi smartphone oleh pemerintah diringkus dalam keranjang aturan usang dengan birokrasi yang berbelit-belit sehingga membebani masyarakat dengan inefisiensi.
Padahal, smart government semestinya sejak awal mengantisipasi perkembangan yang terjadi masif di masyarakat. Kemudian, membuat aturan yang mengarahkan idenya agar kemajuan tetap dikayuh di atas prinsip-prinsip berbangsa dan bernegara. Lalu, pemerintah memfasilitasi benih-benih kemajuan yang tumbuh, sebagai andalan bangsa menjawab tantangan masa depan.
Salah satu nilai yang jadi orientasi smart society—masyarakat cerdas—dewasa ini adalah efisiensi, dalam arti lebih spesifik serbapraktis, hemat, dan murah. Sedang pemerintah saat ini masih tambun, jadi kurang efisien, sehingga Presiden Jokowi berkeinginan merampingkan birokrasi, berarti membersihkannya dari biang ketidakefisienan.
Jokowi-JK boleh dikata terpilih karena sejak awal kampanye pilpres telah menjual koalisi ramping, antonim dari koalisi gemuk yang rakus karena harus melayani kepentingan banyak partai dalam pemerintahan. Jokowi sendiri saat jadi Gubernur DKI telah merintis e-government, implementasi smart government. Juga baru-baru ini ia ke Silicon Valey untuk menyelaraskan langkah pemerintahannya dengan era mutakhir.
Namun, kenapa saat konflik taksi online meletus, pemerintah tak mewadahi rintisan efisiensi itu dengan aturan yang memfasilitasi kemajuan teknologi? Tapi malah meringkusnya dengan aturan lama yang tidak efisien, produk masa lalu? Agaknya, itu karena jajaran pemerintahannya masih kurang mendalami ideal yang mendasar di benak Jokowi. ***
Pertarungan antarsopir taksi di Jakarta yang belum selesai, seperti ditulis Rhenald Kasali (Kompas.com, 29/3/2016) salah satu contoh konflik tersebut. Kebutuhan masyarakat yang telah terpola dalam aplikasi smartphone oleh pemerintah diringkus dalam keranjang aturan usang dengan birokrasi yang berbelit-belit sehingga membebani masyarakat dengan inefisiensi.
Padahal, smart government semestinya sejak awal mengantisipasi perkembangan yang terjadi masif di masyarakat. Kemudian, membuat aturan yang mengarahkan idenya agar kemajuan tetap dikayuh di atas prinsip-prinsip berbangsa dan bernegara. Lalu, pemerintah memfasilitasi benih-benih kemajuan yang tumbuh, sebagai andalan bangsa menjawab tantangan masa depan.
Salah satu nilai yang jadi orientasi smart society—masyarakat cerdas—dewasa ini adalah efisiensi, dalam arti lebih spesifik serbapraktis, hemat, dan murah. Sedang pemerintah saat ini masih tambun, jadi kurang efisien, sehingga Presiden Jokowi berkeinginan merampingkan birokrasi, berarti membersihkannya dari biang ketidakefisienan.
Jokowi-JK boleh dikata terpilih karena sejak awal kampanye pilpres telah menjual koalisi ramping, antonim dari koalisi gemuk yang rakus karena harus melayani kepentingan banyak partai dalam pemerintahan. Jokowi sendiri saat jadi Gubernur DKI telah merintis e-government, implementasi smart government. Juga baru-baru ini ia ke Silicon Valey untuk menyelaraskan langkah pemerintahannya dengan era mutakhir.
Namun, kenapa saat konflik taksi online meletus, pemerintah tak mewadahi rintisan efisiensi itu dengan aturan yang memfasilitasi kemajuan teknologi? Tapi malah meringkusnya dengan aturan lama yang tidak efisien, produk masa lalu? Agaknya, itu karena jajaran pemerintahannya masih kurang mendalami ideal yang mendasar di benak Jokowi. ***
0 komentar:
Posting Komentar