DUA berita Lampung Post, Kamis, 10 Maret 2016, memantulkan potret ironis negeri ini sebagai negara hukum. Pertama, berita di halaman 8, Kabag Reskrim Mabes Polri menyatakan meski deponering, AS dan BW tetap bersalah. Padahal, menurut asas praduga tak bersalah di negara hukum, seseorang dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan dia bersalah.
Kedua, berita di halaman 18, meski belum menerima salinan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang menolak gugatannya atas putusan PTTUN tekait pembekuan PSSI, Menpora sudah menyatakan akan meneruskan proses hukum selanjutnya, yakni peninjauan kembali (PK). Padahal, putusan kasasi telah berkekuatan hukum tetap sehingga di negara hukum harus dilaksanakan lebih dahulu sebagai wujud kepastian hukum.
Setelah itu baru mengajukan PK karena PK merupakan upaya hukum ekstra yang prosesnya tidak memengaruhi putusan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap.
Pernyataan kurang pas dengan asas dan prinsip hukum dari pucuk-pucuk kekuasaan negara hukum ini jelas ironis. Kalau di pucuknya saja begitu, betapa lebih buruk lagi persepsi dan praktik kekuasaan di bawahnya. Dan di bawah itu, penerapan kekuasaan berinteraksi langsung dengan rakyat yang relatif lemah multidimemsi.
Ironis, karena rakyat tahu dan mengikuti masalah sebenarnya di balik pernyataan para penguasa itu, bahkan sebagian juga mencium aroma kecongkakan kekuasaan yang merebak. Karena itu, perlu direnungkan ulang oleh para penguasa di pucuk-pucuk kekuasaan, baik nasional maupun daerah, untuk tidak membuat pernyataan yang mendorong rakyat terdesak ke sinisme masif. Sebaiknya para penguasa sadar, setiap ucapan mereka menjadi bahan pembicaraan, dibahas rakyat di akar rumput.
Bukti bahwa rakyat menilai setiap sepak terjang penguasa yang kurang pas tampak pada hasil Pemilu 2004 dan 2014. Pada 2004, PDIP yang naik takhta dengan kemenangan pemilu 34% pada Pemilu 1999, justru setelah lima tahun berkuasa dihukum rakyat tinggal mendapat suara 20% pada 2004. Sedang pada 2014, Partai Demokrat yang 2009 naik ke periode kedua dengan 148 anggota DPR, pada Pemilu 2014 tinggal 61 kursi DPR.
Jadi, setelah menang besar dan mempunyai kekuasaan mutlak, janganlah congkak dengan kekuasaan karena diam-diam rakyat menilai hal-hal yang kurang pas. Jadi jangan sok paling berkuasa karena pada saatnya rakyat membuat perhitungan, bahkan kalau menyengsarakan, wujud tindakan rakyat bisa berupa pengadilan sejarah—seperti nasib Orde Baru! ***
Pernyataan kurang pas dengan asas dan prinsip hukum dari pucuk-pucuk kekuasaan negara hukum ini jelas ironis. Kalau di pucuknya saja begitu, betapa lebih buruk lagi persepsi dan praktik kekuasaan di bawahnya. Dan di bawah itu, penerapan kekuasaan berinteraksi langsung dengan rakyat yang relatif lemah multidimemsi.
Ironis, karena rakyat tahu dan mengikuti masalah sebenarnya di balik pernyataan para penguasa itu, bahkan sebagian juga mencium aroma kecongkakan kekuasaan yang merebak. Karena itu, perlu direnungkan ulang oleh para penguasa di pucuk-pucuk kekuasaan, baik nasional maupun daerah, untuk tidak membuat pernyataan yang mendorong rakyat terdesak ke sinisme masif. Sebaiknya para penguasa sadar, setiap ucapan mereka menjadi bahan pembicaraan, dibahas rakyat di akar rumput.
Bukti bahwa rakyat menilai setiap sepak terjang penguasa yang kurang pas tampak pada hasil Pemilu 2004 dan 2014. Pada 2004, PDIP yang naik takhta dengan kemenangan pemilu 34% pada Pemilu 1999, justru setelah lima tahun berkuasa dihukum rakyat tinggal mendapat suara 20% pada 2004. Sedang pada 2014, Partai Demokrat yang 2009 naik ke periode kedua dengan 148 anggota DPR, pada Pemilu 2014 tinggal 61 kursi DPR.
Jadi, setelah menang besar dan mempunyai kekuasaan mutlak, janganlah congkak dengan kekuasaan karena diam-diam rakyat menilai hal-hal yang kurang pas. Jadi jangan sok paling berkuasa karena pada saatnya rakyat membuat perhitungan, bahkan kalau menyengsarakan, wujud tindakan rakyat bisa berupa pengadilan sejarah—seperti nasib Orde Baru! ***
0 komentar:
Posting Komentar