Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Ada Gejala Mengecilkan Arti PHK!

KEMENTERIAN Tenaga Kerja (Kemenaker) mencatat sebanyak 3.795 pekerja terkena gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang kuartal pertama 2016. Hingga 28 Maret 2016, PHK terbesar berada di sektor pertanian dan perikanan, dengan jumlah mencapai 1.172 pekerja.

Menurut Dirjen PHI dan Jaminan Sosial Kemenaker Haiyani Rumondang, penyebab sektor tersebut banyak merumahkan pekerjanya karena adanya kebijakan pemberhentian sementara atau moratorium operasional kapal-kapal eks asing penangkap ikan di beberapa daerah oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. 

"Ada pemberlakuan kebijakan baru dari KKP, moratorium. Akhirnya banyak menghentikan para pekerja itu. Seperti di Sulawesi Utara, di Bitung," kata Haiyani. 

Sebagian lagi perusahaan harus merumahkan karyawan karena kontrak yang bersangkutan telah selesai. Dari sebaran wilayah, DKI Jakarta terbanyak melakukan PHK, yakni 1.048 pekerja (Metrotvnews, 28/4/2016). 

Dari berita tersebut membersit kesan adanya gejala mengecilkan arti PHK. Maksudnya, masalah PHK atau nasib tenaga kerja tidak dijadikan pertimbangan penting dalam membuat suatu kebijakan. Namun, PHK dikecilkan hanya sebagai akibat sampingan yang kurang penting sehingga tidak diperhatikan dalam pembuatan kebijakan. Tanpa peduli, konstitusi menjamin hak setiap warga negara atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan (UUD 1945 Pasal 27). 

Padahal, di Amerika Serikat yang maju saja, naik-turunnya pasar tenaga kerja menjadi pertimbangan utama Federal Open Market Committee (FOMC) sebagai pengendali keputusan Bank Sentral (The Fed) yang amat menentukan arah perekonomian negaranya. 

Namun, di negeri kita, hal yang sama dikecilkan hanya sebagai akibat sampingan yang tidak dianggap penting, sehingga ribuan orang dengan mudah tiba-tiba terkapar kehilangan pekerjaan kena PHK, meski tanpa melakukan kesalahan apa pun dalam menjalankan tugas di perusahaan tempatnya bekerja. 

Hal itu bisa jadi karena dalam membuat kebijakan para penguasa negeri ini kurang bersungguh-sungguh orientasinya kepada konstitusi, sehingga kebijakan yang dibuat kurang mencerminkan semangat konstitusi. Idealnya, apa pun prioritasnya, dimensi konstitusional dan kemanusiaan, apalagi yang melekat pada objeknya, dijadikan penyeimbang dalam kebijakan yang dibuat. 

Bahkan, lebih lagi, bagaimana setiap kebijakan dalam pembangunan bangsa berporos pada kepentingan memuliakan manusianya, bukan malah sesuka-suka mengorbankannya! ***

0 komentar: