ADA saat ketika rakyat membutuhkan seorang algojo yang punya track record mengeksekusi mati para penjahat tanpa kompromi. Itu terjadi ketika rakyat Filipina memilih Wali Kota Davao yang kontroversial, Rodrigo Duterte (71), yang terkenal sebagai "Sang Algojo" (The Punisher) menjadi presiden dalam Pemilu 9 Mei 2016.
Pada kampanye terakhir, Sabtu (7/5/2016), di depan ratusan ribu pendukungnya, Duterte menyatakan tekadnya untuk menghentikan kejahatan dalam enam bulan kepresidenannya. Duterte bahkan menegaskan dia tidak akan peduli soal hak-hak asasi manusia (HAM) jika menyangkut penjahat. (detiknews, 12/5/2016)
Pada kesempatan itu ia bersumpah, jika terpilih akan mengeksekusi 100 ribu kriminalis dan membuang mereka ke laut Manila Bay. Selama ini Duterte dikenal sebagai seorang wali kota garis keras dengan regu eksekutornya tanpa memiliki payung hukum. The Punisher itu telah mengeksekusi mati ribuan tersangka kejahatan di Davao, selama menjabat wali kota Davao enam periode.
Dalam pemilu yang digelar serentak eksekutif dan legislatif semua tingkat—pusat, provinsi, dan distrik itu, tidak kenal putaran kedua. Duterte yang meraih suara terbanyak (38,60%) langsung ditetapkan sebagai pemenang, menyingkirkan cucu mantan Presiden Manuel Roxas (23,42%), dan Senator Grace Poe (21,65%).
Sebagai presiden terpilih pertama asal Pulau Mindanao, Duterte berjanji untuk mengakhiri pemberontakan di Filipina Selatan. Sebenarnya Filipina Selatan sudah dipimpin pemerintahan otonom sejak penandatanganan damai pada 27 Maret 2014, antara Presiden Benigno Aquino dan Ketua Moro Islamic Liberation Front (MILF) Murad Ebrahim. MILF dengan 10 ribu pejuang merupakan kelompok pemberontak muslim terbesar di Mindanao.
Presiden Aquino berjanji memberi otonomi seluas-luasnya dalam Comprehensive Agreement on the Bangsamoro (CAB) yang diatur dalam Bangsamoro Basic Law (BBL), yang disusun MILF dan disetujui parlemen. Namun, akhir Januari 2016, BBL yang sudah lama dibahas parlemen itu ditolak kongres. Anggota kongres, Gary C Alejano, menuduh MILF memanfaatkan BBL dengan kebebasan luas itu untuk menuju kemerdekaan penuh.
Kekhawatiran konflik MILF dengan pemerintah kembali merebak. Namun, MILF menilai ini bukanlah akhir dari segalanya buat kedamaian wilayan Moro. Sebab, pemerintah tetap terikat perjanjian damai. (www. risalah.tv/2016) Mungkin, menyelesaikan masalah BBL inilah peluang Duterte mengakhiri pemberontakan di Filipina Selatan. ***
Pada kampanye terakhir, Sabtu (7/5/2016), di depan ratusan ribu pendukungnya, Duterte menyatakan tekadnya untuk menghentikan kejahatan dalam enam bulan kepresidenannya. Duterte bahkan menegaskan dia tidak akan peduli soal hak-hak asasi manusia (HAM) jika menyangkut penjahat. (detiknews, 12/5/2016)
Pada kesempatan itu ia bersumpah, jika terpilih akan mengeksekusi 100 ribu kriminalis dan membuang mereka ke laut Manila Bay. Selama ini Duterte dikenal sebagai seorang wali kota garis keras dengan regu eksekutornya tanpa memiliki payung hukum. The Punisher itu telah mengeksekusi mati ribuan tersangka kejahatan di Davao, selama menjabat wali kota Davao enam periode.
Dalam pemilu yang digelar serentak eksekutif dan legislatif semua tingkat—pusat, provinsi, dan distrik itu, tidak kenal putaran kedua. Duterte yang meraih suara terbanyak (38,60%) langsung ditetapkan sebagai pemenang, menyingkirkan cucu mantan Presiden Manuel Roxas (23,42%), dan Senator Grace Poe (21,65%).
Sebagai presiden terpilih pertama asal Pulau Mindanao, Duterte berjanji untuk mengakhiri pemberontakan di Filipina Selatan. Sebenarnya Filipina Selatan sudah dipimpin pemerintahan otonom sejak penandatanganan damai pada 27 Maret 2014, antara Presiden Benigno Aquino dan Ketua Moro Islamic Liberation Front (MILF) Murad Ebrahim. MILF dengan 10 ribu pejuang merupakan kelompok pemberontak muslim terbesar di Mindanao.
Presiden Aquino berjanji memberi otonomi seluas-luasnya dalam Comprehensive Agreement on the Bangsamoro (CAB) yang diatur dalam Bangsamoro Basic Law (BBL), yang disusun MILF dan disetujui parlemen. Namun, akhir Januari 2016, BBL yang sudah lama dibahas parlemen itu ditolak kongres. Anggota kongres, Gary C Alejano, menuduh MILF memanfaatkan BBL dengan kebebasan luas itu untuk menuju kemerdekaan penuh.
Kekhawatiran konflik MILF dengan pemerintah kembali merebak. Namun, MILF menilai ini bukanlah akhir dari segalanya buat kedamaian wilayan Moro. Sebab, pemerintah tetap terikat perjanjian damai. (www. risalah.tv/2016) Mungkin, menyelesaikan masalah BBL inilah peluang Duterte mengakhiri pemberontakan di Filipina Selatan. ***
0 komentar:
Posting Komentar